DOA IFTITAH
ALLAAHU AKBARU KABIIRAA WAL HAMDU LILLAAHI KATSIIRAA WASUBHAANALLAAHI BUKRATAW WAASHIILAA.
Allah Maha Besar, Maha Sempurna Kebesaran-Nya. Segala Puji Bagi Allah, Pujian Yang Sebanyak-Banyaknya. Dan Maha Suci Allah Sepanjang Pagi Dan Petang.
INNII WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA HANIIFAM MUSLIMAW WAMAA ANA MINAL MUSYRIKIIN.
Kuhadapkan Wajahku Kepada Zat Yang Telah Menciptakan Langit Dan Bumi Dengan Penuh Ketulusan Dan Kepasrahan Dan Aku Bukanlah Termasuk Orang-Orang Yang Musyrik.
INNA SHALAATII WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAAHIRABBIL ‘AALAMIIN.
Sesungguhnya Sahalatku, Ibadahku, Hidupku Dan Matiku Semuanya Untuk Allah, Penguasa Alam Semesta.
LAA SYARIIKA LAHUU WA BIDZAALIKA UMIRTU WA ANA MINAL MUSLIMIIN.
Tidak Ada Sekutu Bagi-Nya Dan Dengan Demikianlah Aku Diperintahkan Dan Aku Termasuk Orang-Orang Islam.
AL-FATIHAH
BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM.
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
AL HAMDU LILLAAHI RABBIL ‘AALAMIIN.
Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.
ARRAHMAANIR RAHIIM.
Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
MAALIKIYAUMIDDIIN.
Penguasa Hari Pembalasan.
IYYAAKA NA’BUDU WAIYYAAKA NASTA’IINU.
Hanya Kepada-Mu lah Aku Menyembah Dan Hanya Kepada-Mu lah Aku Memohon Pertolongan.
IHDINASH SHIRAATHAL MUSTAQIIM.
Tunjukilah Kami Jalan Yang Lurus.
SHIRAATHAL LADZIINA AN’AMTA ‘ALAIHIM GHAIRIL MAGHDHUUBI ‘ALAIHIM WALADHDHAALLIIN. AAMIIN.
Yaitu Jalannya Orang-Orang Yang Telah Kau Berikan Nikmat, Bukan Jalannya Orang-Orang Yang Kau Murkai Dan Bukan Pula Jalannya Orang-Orang Yang Sesat.
R U K U’
SUBHAANA RABBIYAL ‘ADZIIMI WA BIHAMDIH. – 3 x
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung Dan Dengan Memuji-Nya.
I’TIDAL
SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH.
Semoga Allah Mendengar ( Menerima ) Pujian Orang Yang Memuji-Nya ( Dan Membalasnya ).
RABBANAA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAAWATI WA MIL ‘ULARDHI WA MIL ‘UMAASYI’TA MIN SYAI’IN BA’DU.
Wahai Tuhan Kami ! Hanya Untuk-Mu lah Segala Puji, Sepenuh Langit Dan Bumi Dan Sepenuh Barang Yang Kau Kehendaki Sesudahnya.
SUJUD
SUBHAANA RABBIYAL A‘LAA WA BIHAMDIH. – 3 x
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi Dan Dengan Memuji-Nya.
DUDUK DIANTARA DUA SUJUD
RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WARFA’NII WARZUQNII WAHDINII WA’AAFINII WA’FU ‘ANNII.
Ya Tuhanku ! Ampunilah Aku, Kasihanilah Aku, Cukupkanlah ( Kekurangan )-Ku, Angkatlah ( Derajat )-Ku, Berilah Aku Rezki, Berilah Aku Petunjuk, Berilah Aku Kesehatan Dan Maafkanlah ( Kesalahan )-Ku.
TASYAHUD AWAL
ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWATUTH THAYYIBAATU LILLAAH.
Segala Kehormatan, Keberkahan, Rahmat Dan Kebaikan Adalah Milik Allah.
ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WABARAKAATUH.
Semoga Keselamatan, Rahmat Allah Dan Berkah-Nya ( Tetap Tercurahkan ) Atas Mu, Wahai Nabi.
ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADADILLAAHISH SHAALIHIIN.
Semoga Keselamatan ( Tetap Terlimpahkan ) Atas Kami Dan Atas Hamba-Hamba Allah Yang Saleh.
ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAAH.
Aku Bersaksi Bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah. Dan Aku Bersaksi Bahwa Muhammad Adalah Utusan Allah.
ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD.
Wahai Allah ! Limpahkanlah Rahmat Kepada Penghulu Kami, Nabi Muhammad !.
TASYAHUD AKHIR
ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWATUTH THAYYIBAATU LILLAAH.
Segala Kehormatan, Keberkahan, Rahmat Dan Kebaikan Adalah Milik Allah.
ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WABARAKAATUH.
Semoga Keselamatan, Rahmat Allah Dan Berkah-Nya ( Tetap Tercurahkan ) Atas Mu, Wahai Nabi.
ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADADILLAAHISH SHAALIHIIN.
Semoga Keselamatan ( Tetap Terlimpahkan ) Atas Kami Dan Atas Hamba-Hamba Allah Yang Saleh.
ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAAH.
Aku Bersaksi Bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah. Dan Aku Bersaksi Bahwa Muhammad Adalah Utusan Allah.
ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD ( tasyahud awal ) WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD.
Wahai Allah ! Limpahkanlah Rahmat Kepada Penghulu Kami, Nabi Muhammad Dan Kepada Keluarga Penghulu Kami Nabi Muhammad.
KAMAA SHALLAITAA ‘ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIIM WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA IBRAAHIIM.
Sebagaimana Telah Engkau Limpahkan Rahmat Kepada Penghulu Kami, Nabi Ibrahim Dan Kepada Keluarganya.
WA BAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD.
Dan Limpahkanlah Berkah Kepada Penghulu Kami, Nabi Muhammad Dan Kepada Keluarganya.
KAMAA BAARAKTA ‘ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIIM WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA IBRAAHIIM.
Sebagaimana Telah Engkau Limpahkan Berkah Kepada Penghulu Kami, Nabi Ibrahim Dan Kepada Keluarganya.
FIL ‘AALAMIINA INNAKA HAMIIDUMMAJIID. YAA MUQALLIBAL QULUUB. TSABBIT QALBII ‘ALAA DIINIK.
Sungguh Di Alam Semesta Ini, Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia. Wahai Zat Yang Menggerakkan Hati. Tetapkanlah Hatiku Pada Agama-Mu.
Kamis, 24 Maret 2011
Rabu, 05 Januari 2011
Membuka Hijab
Ingredients:
Istilah hijab sebenarnya baru muncul setelah orang mulai serius mendalami pengetahuan tentang ma'rifatullah, segala cara amalan ibadah diterapkan untuk memudahkan sampainya seseorang kepada tingkat mukhlasin. Yaitu orang yang benar-benar berada dalam keadaan rela dan menerima Allah sebagai Tuhannya secara transenden. Amalan amalan ibadah yang mereka lakukan merupakan kutipan-kutipan perintah ibadah sunnah maupun yang wajib. Sehingga mereka menyakininya bahwa mutiara-mutira Al Qur'an itu memang benar adanya.
Hijab adalah tirai penutup, didalam ilmu tasawuf biasa disebut sebagai penghalang lajunya jiwa menuju Khaliknya. Penghalang itu adalah dosa-dosa yang setiap hari kita lakukan. Dosa merupakan kabut yang menutupi mata hati, sehingga hati tidak mampu melihat kebenaran yang datang dari Allah. Nur Allah tidak bisa ditangkap dengan pasti. Dengan demikian manusia akan selalu berada dalam keragu-raguan atau was-was. Didalam bab ini saya tidak membahas masalah dosa seperti apa yang saya sebut diatas. Karena ketertutupan atau terhijabnya kita atas keberadaan Allah disebabkan ketidak tahuan (kebodohan) dan sangkaan (dzan) akan Allah yang keliru. Maka dari itu saya hanya ingin membuka wawasan dalam hal ketidaktahuan kita akan Allah, yaitu jawaban-jawaban Allah atas pertanyan kita selama ini
Seperti yang pernah saya katakan pada artikel bab hati, bahwa hati merupakan pusat dari segala kemunafikan, kemusyrikan, dan merupakan pusat dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi. Dan pusat ini merupakan tempat dimana mereka bertemu dengan Tuhannya. Merupakan janji Allah saat fitrah manusia menanyakan dimanakah Allah? Lalu, Allah menyatakan diri-Nya berada "sangat dekat", sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an :
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah) Bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran " (QS 2:186)
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (QS 50:16)
Pertanyaan tentang keberadaan Allah sering kali kita mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan, bahkan kita mendapatkan cemoohan sebagai orang yang terlalu mengada-ada. Menanyakan keberadaan "Tuhanku" adalah merupakan pertanyaan fitrah seluruh manusia.
Allahpun mengetahui akan hal ini, sehingga Allah memberikan jawaban atas pertanyaan hamba-hamba-Nya melalui Rasulullah.
Didalam ayat-ayat di atas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai "wujud" yang sangat dekat. Dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh. Maka dari itu jawaban atas pertanyaan "dimanakah Allah?". Al Qur'an mengungkapkan jawaban secara dimensional. Jawaban-jawaban tersebut tidak sebatas itu, akan tetapi dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia seutuhnya. Saat pertanyaan itu terlontar "dimanakah Allah ", Allah menjawab "….Aku ini dekat ", kemudian jawaban meningkat sampai kepada "Aku lebih dekat dari urat leher kalian…atau dimana saja kalian menghadap disitu wujud wajah-Ku ….dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu."
Keempat jawaban tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat hanya dari satu dimensi saja, akan tetapi Allah merupakan kesempurnaan wujud-Nya, seperti didalam firman Allah :
"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu. (QS 41:54)
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah maha luas lagi maha mengetahui" (QS 2:115)
Sangat jelas sekali bahwa Allah menyebut dirinya "Aku" berada meliputi segala sesuatu, dilanjutkan surat Al Baqarah ayat 115 ..dimana saja engkau menghadap disitu wajah-Ku berada!!! Kalau kita perhatikan jawaban Allah, begitu lugas dan tidak merahasiakan sama sekali akan wujud-Nya.
Namun demikian Allah mengingatkan kepada kita bahwa untuk memahami atas ilmu Allah ini tidak semudah yang kita kira. Karena kesederhanaan Allah ini sudah dirusak oleh anggapan bahwa Allah sangat jauh. Dan kita hanya bisa membicarakan Allah nanti di alam surga. Untuk mengembalikan dzan kita kepada pemahaman seperti yang diungkap oleh Al Qur'an tadi, kita hendaknya memperhatikan peringatan Allah, bahwa Allah tidak bisa ditasybihkan (diserupakan) dengan makhluq-Nya.
Didalam kitab tafsir Jalalain ataupun didalam tafsir fi dzilalil qur'an, membahas masalah surat Fushilat ayat 54, … Allah meliputi segala sesuatu … adalah ilmu atau kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, bukan dzat-Nya.
Pendapat ini merupakan tafsiran ulama, untuk mencoba menghindari kemungkinan masyarakat awam mentasybihkan (menyerupakan) wujud Allah dengan apa yang terlintas didalam fikirannya ataupun perasaannya. Sehingga "Allah" sebagai wujud sejati ditafsirkan dengan sifat-sifat Nya yang meliputi segala sesuatu. Untuk itu, saya huznudzan memahami pemikiran para mufassirin sebagai pendekatan ilmu dan membatasi pemikiran para awam.
Akan tetapi kalau "Allah" ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya, yang meliputi segala sesuatu. Akan timbul pertanyaan, kepada apanya kita menyembah? Apakah kepada ilmunya, kepada kekuasaan-Nya atau kepada wujud-Nya? Kalau dijawab dengan kekuasan-Nya atau dengan ilmu-Nya maka akan bertentangan dengan firman Allah :
"Sesungguhnya Aku ini Allah , tidak ada tuhan kecuali "Aku", maka sembahlah "Aku" (QS 20:14)
Ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau dzat Allah, kalimat … sembahlah "Aku". Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan menghadapkan wajahnya kepada wajah Dzat yang Maha Mutlak. Sekaligus menghapus pernyataan selama ini yang justru menjauhkan "pengetahuan kita " tentang dzat, kita menjadi takut kalau membicarakan dzat, padahal kita akan menuju kepada pribadi
Allah, bukan nama, bukan sifat dan bukan perbuatan Allah. Kita akan bersimpuh dihadapan sosok-Nya yang sangat dekat.
Ungkapan tentang Tuhan, juga disebut sebagai dalil pertama yang menyinggung hubungan antara dzat, sifat, dan af'al (perbuatan) Allah. Diterangkan bahwa dzat meliputi sifat … sifat menyertai nama … nama menandai af'al. Hubungan-hubungan ini bisa diumpamakan seperti madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa dipisahkan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti segala tingkah laku yang bercermin, bayangannya pasti mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan ombaknya, keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra.
Uraian di atas menjelaskan, betapa eratnya hubungan antara dzat, sifat, asma, dan af'al Tuhan. Hubungan antara dzat, dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara madu dan rasa manisnya. Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan dzat..namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kalimat …. Allah meliputi segala sesuatu (QS 41:54) adalah kesempurnaan ..dzat , sifat, asma, dan af'al. Sebab kalau hanya disebut sifatnya saja yang meliputi segala sesuatu, lantas ada pertanyan, "sifat" itu bergantung kepada apa atau siapa ? Jelas akan bergantung kepada pribadi (Aku) yang memiliki sifat. Kemudian kalau sifat yang meliputi segala sesuatu, kepada siapakah kita menghadap? Kepada Dzat atau sifat Allah. Kalau sifat Allah sebagai obyek ibadah kita, maka kita telah tersesat, sebab sifat, asma dan perbuatan Allah bukanlah sosok dzat yang Maha Mutlak itu sendiri.
Semua selain Allah adalah hudust (baru),.karena "adanya" sebagai akibat adanya sang Dzat. seperti adanya alam, adanya malaikat, adanya jin dan manusia. Semua ada karena adanya dzat yang maha qadim. Seperti perumpamaan madu dan manisnya, sifat manis tidak akan ada kalau madu itu tidak ada. Dan sifat manis itu bukanlah madu. Sebaliknya madu bukanlah sifat manis. Artinya sifat manis tergantung kepada adanya "madu". Apakah Dzat itu, … seperti apa? Apakah ada orang yang mampu menjabarkan keadaannya ?
Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan. Untuk bisa memahami Tuhan, kita harus mengerti keterbatasan-keterbatasan konsepsi kita sendiri, karena menurut perspektif ketakperbandingan tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri!!! Karena itu kita punya pengertian tentang Tuhan, "Tuhan" konsepsi saya dan "Tuhan" konsepsi hakiki, yang berada jauh diluar konsepsi saya. Tuhan yang dibicarakan berkaitan dengan "konsepsi saya". Konsepsi Dzat yang hakiki tidak bisa kita fahami, baik oleh saya maupun anda. Karena itu kita tidak bisa berbicara tentangnya secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh konsepsi manusia. Seperti, Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir), Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu), cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya), tidak laki-laki dan tidak tidak perempuan, tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst….
Kenyataan Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar tauhid `laa ilaha illallah atau laisa ka mistlihi syai'un' (tidak sama dengan sesuatu). Karena tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-benar dzat maha tinggi, sementara kosmos berikut segala isinya hanya secara relatif bersifat hakiki, maka realitas Ilahi berada jauh diluar pemahaman realitas makhluq. Dzat yang maha mutlak tidak bisa dijangkau oleh yang relatif.
Kita dan kosmos (alam) berhubungan dengan tuhan melalui sifat-sifat Ilahi yang menampakkan jejak-jejak dan tanda-tandanya dalam eksistensi kosmos. Kita tidak bisa mengenal dan mengetahui Tuhan dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos (sifat, nama, af'al). Firman Allah:
"Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai nama-nama yang yang indah "(QS 20:8)
Sifat, nama, dan af'al, secara relatif bisa dirasakan dan difahami "maknanya". Akan tetapi "Dzat", adalah realitas mutlak. Dan untuk memahami secara hakiki harus mampu memfanakan diri, ... yaitu memahami keberadaan makhluq adalah tiada….
Untuk lebih jelasnya akan saya berikan perumpamaan keberadaan alam dan yang menciptakan.
Ketika kita melihat kereta api berjalan diatas rel, terbetik dibenak kita suatu pertanyaan. Bagaimana roda-roda yang berat itu bisa bergerak dan lari. Tak lama kemudian kita akan sampai kepada pemikiran tetang alat-alat dan mesin-mesin itulah yang menggerakkan roda yang berat itu. Adakah setelah itu kita dibenarkan jika berpendapat bahwa alat kereta itu sendiri yang menggerakkan kereta tersebut. Perkaranya tidak semudah itu, sebab kita tidak boleh mengabaikan bahwa disana ada masinis yang mengendalikan mesin. Kemudian ada insinyur yang menciptakan rancangan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, maka pada hakekatnya tak ada wujud bagi kereta itu, dan tidaklah mungkin terjadi gerakan dan perputaran pada roda-roda tanpa kerja insinyur. Mesin-mesin itu bukanlah akhir dari cerita sebuah kereta api, akan tetapi hakikat yang paling akhir adalah "akal" yang telah mengadakan mesin itu, kemudian menggerakkan menurut rencana yang telah dipersiapkan.
Mengikuti ilustrasi realitas kereta api, mulai dari gerbong yang digerakkan oleh roda-roda, kemudian roda-roda digerakkan oleh mesin, mesin digerakkan oleh masinis, dan semua itu direncanakan, oleh yang menciptakan yaitu insinyur. Pertanyaan terakhir adalah : "Mungkinkah roda-roda, mesin, dan alat-alat kereta api itu mampu melihat yang menciptakan?" Jawabannya adalah insinyur itu sendiri yang mengetahui akan dirinya, sebab kereta api dan insinyur berbeda keadaan dan bukan perbandingan….
Realitas instrumen kereta api tidak ada satupun yang serupa jika dibandingkan dengan keadaan realitas insinyur. Kemudian mengetahui keadaan realitas kereta api dari awal sampai akhir, merupakan kefanaan atau penafian bahwa realitas kereta api adalah ciptaan semata.
Firman Allah :
"(yang memiliki sifat-sifat yang..) Demikian itu ialah Tuhan kamu. Tidak ada Tuhan selain Dia. pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan. Dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui" ( QS 6:102-103)
Realitas bahwa Dzat tuhan tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS 26:11) ... berlaku sampai diakhirat kelak. Walaupun Tuhan sendiri mengatakan bahwa manusia di alam surga akan melihat realitas Tuhan secara nyata atas eksistensi Allah, bukan berarti kita melihat dengan perbandingan pikiran manusia … yang dimaksud melihat secara hak disini adalah kesadaran jiwa muthmainnah yang telah lepas dari ikatan alam atau kosmos.
Atau biasa disebut "fana", keadaan ini manusia dan alam seperti keadaan sebelum diciptakan yaitu keadaan masih kosong 'awang uwung' (jawa), kecuali Allah sendiri yang ada. Tidak ada yang mengetahui keadaan ini kecuali Allah sendiri.
Keadaan awal (Al Awwalu) tidak ada yang wujud selain Allah, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada alam apapun yang tercipta. Untuk mengetahui keadaan seperti ini marilah kita ikuti kisah nabi Musa As. Firman Allah :
"Dan tatkala Musa datang (untuk munajat) dengan Kami, pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. Berkatalah Musa : ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku. Agar aku dapat melihat kepada Engkau. Tuhan berfirman: kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihat-lah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagaimana sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan, maka setelah Musa sadar kembali dia berkata. Maha Suci Engkau, dan aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman …" (QS 7:143)
Ada yang menarik dalam peristiwa "pertemuan" nabi Musa ... dan saya hubungkan dengan pembahasan mengenai keadaan "kefanaan" manusia dan alam. Yakni keadaan hancur luluh lantak keadaan gunung Thursina dan keadaan Musa jatuh pingsan!!! Setelah gunung itu hancur dan Musa-pun jatuh pingsan, tidak satupun yang terlintas realitas apapun didalam perasan Musa dan fikirannya, kecuali ia tidak tahu apa-apa. Yaitu realitas konsepsi manusia dan alam tidak ada (fana). Dalam keadaan inilah Musa melihat realita Tuhan, bahwa benar Tuhan tidak bisa dibandingkan oleh sesuatu apapun. Kemudian Musa kembali sadar memasuki realitas dirinya sebagai manusia dan alam. Musa berkata :aku orang yang pertama-tama beriman..dan percaya bahwa Allah tidak seperti konsepsi "saya".
Setelah kita mengetahui dan faham akan Dzat, sifat, dan af'al Allah, teranglah fikiran dan batin kita, sehingga secara gamblang kedudukan kita dan Allah menjadi jelas, yaitu yang hakiki dan yang bukan hakiki. Terbukalah mata kita dari ketidaktahuan akan Dzat. Ketidaktahuan inilah yang saya maksudkan dengan tertutupnya hijab, sehingga perlu disadarkan oleh kita sendiri dan kemudian mengenal-Nya (ma'rifat)
Syekh Ahmad bin `Athaillah, didalam Al Hikam menyebutkan bahwa :
"Tiada sesuatu benda yang menghijab engkau dari Allah, tetapi yang menghijab engkau adalah persangkaanmu adanya sesuatu disamping Allah, sebab segala sesuatu selain dari Allah itu pada hakikatnya tidak maujud (tidak ada) sebab yang wajib ada hanya Allah, sedang yang lainnya terserah kepada belas kasihan Allah untuk diadakan atau ditiadakan".
Seorang arif berkata : "Adanya makhluq semua ini bagaikan adanya bayangan pohon di dalam air. Maka ia tidak akan menhalangi jalannya perahu. Maka hakikat yang sebenarnya tiada sesuatu benda apapun yang maujud disamping Allah untuk menghijab engkau dari Allah. Hanya engkau sendiri mengira bayangan itu sebagai sesuatu yang maujud."
Ibarat seseorang yang bermalam disuatu tempat, tiba-tiba pada malam hari ketika ia akan buang air, terdengar suara angin yang menderu masuk lobang sehingga persis sama dengan suara harimau, maka ia tidak berani keluar. Tiba pada pagi hari ia tidak melihat bekas-bekas harimau, maka ia tahu bahwa itu hanya tekanan angin yang masuk ke lobang, bukan tertahan oleh harimau, hanya karena perkiraan adanya harimau.
Sang Syekhk berkata : "andaikan Allah tidak dhahir pada benda-benda alam ini, tidak mungkin adanya penglihatan pada-Nya. Dan andaikan Allah tidak mendhahirkan sifat-sifat-Nya, pasti lenyaplah alam benda-benda. Ketika Allah bertajalli kepada gunung, hancurlah gunung itu, sedang Musa jatuh pingsan … "
Pertanyaan demi pertanyaan timbul dari ketidaktahuan (hijab), kenyataaan bahwa Allah sangat dekat … tertutup oleh kebodohan ilmu kita selama ini. Allah seakan jauh diluar sana …sehingga kita tidak merasakan kehadiran-Nya yang terus menerus berada dalam kehidupan kita. Dari keterangan diatas menyimpulkan bahwa kita ternyata telah salah kaprah mengartikan sosok dzat selama ini, yang kita sangka adalah konsepsi "saya", bukan konsepsi hakiki, yaitu wujud yang tak terbandingkan oleh perasaan, pikiran , mata hati, dan seterusnya. Allah kita adalah Allahnya Musa, ... Allahnya Ibrahim, ... dan Allahnya Muhammad … yaitu yang Maha tak terjangkau oleh apapun…
Kini saatnya kita bertakbir tertuju kepada dzat …bukan kepada sifat … (fa' bud nii) sembahlah AKU …, sehingga fanalah "diri" dan semesta.
Tafakkur dan Meditasi Transendental
Setelah kita mengetahui dan mengenal Allah secara ilmu, maka semakin mudahlah kita untuk memulai berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya. Kita telah meyakini bahwa kita akan kembali kepada-Nya sekarang ... bukan besok !
Firman Allah :
"Hai manusia, sesungguhnya engkau berusaha sungguh-sungguh menuju kepada Tuhanmu, maka engkau akan menemuinya". (QS 84:6)
"ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan tuhan mereka. Ingatlah bahwa Allah maha meliputi segala sesuatu". (QS 41:54).
Didalam ayat lain dikatakan, bahwa shalat itu adalah pekerjaan yang amat sulit, kecuali bagi orang yang khusyu'. Siapakah orang yang khusyu' itu, ialah orang yang mempunyai sangkaan bahwa ia akan bertemu dengan Allah dan mereka adalah orang yang kembali kepada Allah. Rajiun artinya; orang yang kembali (kedudukannya sebagai fa'il), bukan yang akan kembali.
Kekhusyu'an shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya tidak akan bisa dicapai, kalau kita tidak mengerti ilmu tauhid, yaitu mengerti akan Allah secara hakiki. Dasar tauhid inilah yang menjadi bekal kita untuk menuju tawajjuh kepada Allah, dan merupakan jalan yang membedakan dari peribadatan-peribadatan agama lain selain Islam.
Pada tatanan fenomena fisik dan psikis, mungkin kita akan mengalami kesamaan dengan perjalanan meditator … penyembuh, pastor, atau pendeta … biksu yang tekun beribadah … atau kadang juga sama dengan penggali spiritual yang tidak menggunakan pengertian ke-Tuhanan sama sekali …
Pengalaman-pengalaman ini bukanlah penentu sebuah kebenaran spiritual tertentu. Akan tetapi hal ini, seperti keadaan ilmu-ilmu yang lainnya yang bersifat universal, seperti perasaan rindu …cinta … sedih … bahagia dan ketenangan. Keadaan ini bisa disebut sebagian dari pengalaman perasaan rohani. Yang tidak bisa kita klaim sebagai milik orang Islam saja..atau orang kristen ... dan yang lain.
Banyak pendeta yang berdoa di gereja memohon kesembuhan bagi si penderita sakit parah ... ia bisa sembuh …pendeta Budha pun demikian ... dan tidak sedikit pula dari kalangan Islam yang bukan kyai bisa berdoa untuk yang sakit, ... iapun bisa sembuh.
Dari sudut pandang psikolgi modern, tafakkur termasuk bagian dari psikologi berfikir. Lapangan sentral kajian psikologi tradisional pada masa-masa sebelum aliran behaviorisme mendominasi psikologi. Pada masa-masa awal, psikologi banyak terfokuskan pada studi sekitar pikiran, kandungan perasaan, dan bangunan akal manusia. Pembahasan masalah belajar hanya dikaji melalui tema-tema tersebut, kemudian muncul aliran behaviorisme dengan konsep-konsepnya yang terkenal. Aliran ini, akhirnya mengubah secara besar-besaran pandangan-pandangan sebelumnya, kemudian menempatkan kajian mengenai proses belajar manusia, melalui rangsangan dan respon yang timbul, menjadi tema utama psikologi. Perasaan, kandungan akal, dan pikiran dianggap sebagai masalah yang tidak dapat dijangkau dan dipelajari secara langsung, sebagaimana juga metode yang dipakai untuk mempelajarinya, seperti metode intropeksi, dikritik karena tidak dapat dibuktikan secara empiris. Para penganut faham behaviorisme menginginkan psikologi sebagai ilmu empiris berdasarkan fenomena-fenomena lahiriah yang dapat dikaji dilaboratorium. Menurut mereka, segala kegiatan kognitif dan perasaan yang ada dan terjadi dalam benda-benda hidup merupakan akibat dari interaksinya dengan pengaruh-pengaruh tertentu.
Kegiatan-kegiatan "pikiran dalam" itu, mereka anggap sebagai suatu peti terkunci yang bagian dalamnya tidak mungkin diketahui dengan jelas. Karena itu, tidak perlu menghabiskan waktu untuk mempelajarinya. Adapun berbagai respon dan tanggapan yang timbul akibat kegiatan dalam yang dapat diukur dan diamati, merupakan pusat perhatian kajian ilmiah empiris mereka.
Hal yang lebih pelik dan kompleks bagi kita, orang Islam, adalah bahwa salah satu unsur pembentukan perilaku manusia terpenting telah ditinggalkan oleh psikologi barat modern, meskipun banyak penemuan modern telah membuktikan pentingnya unsur tersebut, yaitu unsur spiritual. Psikologi modern hanya berpegang pada unsur psikologis, biologis sosial dan kultural sebagai unsur-unsur pembentukan perilaku manusia, dengan alasan, mudah didefinisikan jika dibandingkan dengan sisi spiritual. Selain itu, ia juga menolak segi spiritual karena dianggap tumbuh dari pandangan agama.
Sebagian kalangan Islam juga menolak pentingnya tafakkur, yang merupakan unsur penting dari suatu agama disamping tatanan hukum syariat. Mereka menganggap perbuatan itu adalah bid'ah.
Awal dari segala perbuatan adalah kegiatan berfikir dan kognitif dialam sadar. Berdasarkan hal itu, orang selalu berfikir panjang dan mendalam atau bertafakur sehingga dengan mudah melaksanakan segala ibadah dan ketaatan lainnya. Dalam hal ini Al Ghazaly dalam Ihya'nya mengatakan: "Jika ilmu sudah sampai dihati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan akan
berubah. Perbuatan mengikuti keadaan (hal), keadaan mengikuti ilmu, dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dan kunci segala kebaikan, dan yang menyingkapkan keutamaan tafakkur. Pikiran lebih baik daripada dzikir, karena pikiran adalah dzikir plus". (Abu Hamid Al Ghazaly, Ihya' ulumuddin jilid IV hal. 389)
Sebagaimana kegiatan berfikir adalah kunci kebaikan dan amal shaleh, ia juga merupakan segala perbuatan lahir dan batin. Oleh karena itu, hati yang selalu merenung atau bertafakkur tentang ketinggian dan keagungan Allah Swt, serta memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar dengan mudah niat-niat jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena, ia memiliki kepekaan dan ketajaman sebagai hasil dzikir dan tafakkurnya yang berkesinambungan itu. Setiap kali terlintas suatu niat jahat atau buruk kedalam hati, maka pikiran, perasaan dan pandangan baiknya dapat segera mengetahui dan menguasainya, lalu menghancurkan keberadaannya. Seperti anggota badan yang sehat dapat menolak dan menghancurkan penyakit yang mencoba menghinggapinya.
Seorang yang alim yang menyambung malam dan siang dengan tafakkur tentang keagungan Allah, tentang kehidupan dunia dan akhirat adalah seorang yang terjaga. Manakala terlintas sedikit saja niat jelek yang mencoba menghampirinya, api kebaikan akan menghantamnya atau membakarnya, seperti lemparan api yang menjaga langit dari intaian syetan yang hendak mencuri pendengaran; "sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS 7:201)
Jadi, tafakkur memanfaaatkan segala fasilitas pengetahuan yang digunakan manusia dalam proses berfikir. Tafakkur adalah menerawang jauh dan menerobos alam dunia kedalam alam akhirat, dari alam ciptaan menuju kepada pencipta. Loncatan inilah yang disebut al ibrah, melihat jauh sarat pengetahuan.
Berfikir kadang hanya terbatas, pada upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan dunia, yang mungkin terlepas dari emosi kejiwaan, sedang tafakkur dapat menerobos sempitnya dunia ini menuju alam akhirat yang luas, keluar dari belenggu materi menuju alam spiritual yang tiada batas. Mungkin hal ini yang dimaksudkan oleh psikolog sebagai kecerdasan jiwa yang hebat.
Tafakkur dapat menggerakkan semua kegiatan kognitif serta pikiran dalam dan luar seorang mukmin. Dr. Malik Badri, ahli psikoterapi dari Sudan berpendapat, perwujudan tafakkur memiliki dan melalui tiga fase dan berakhir pada fase keempat, yang disebut istilah "syuhud". Diawali dengan pengetahuan yang didapat dari persepsi empiris yang langsung. Melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indra lainnya. Atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi, atau kadang pengetahuan rasional yang abstrak. Sebagian besar pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi atau sentimen.
Kalau seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi keindahan, kekuatan, keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan dingin menuju rasa kekaguman akan keagungan ciptaan, susunannya rapi, pemandangannya yang indah. Fase ini adalah fase kedua, fase tempat bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ini ia berpindah menuju sang pencipta dengan penuh kekhusyu'an sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Sekadar dapat memandang dan menyaksikan ciptaan-Nya tidak lebih dari fase awal yang primitif, pada fase ini antara pandangan seorang mukmin dan orang kafir tidak ada bedanya. Fase kedua, yaitu fase tadhawwuk, pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah, fase ini dapat dirasakan, baik oleh orang mukmin maupun oleh orang kafir, tanpa mellihat sisi keimanan atau sisi kekufuran. Akan tetapi, pada fase pengetahuan ketiga yang menghubungkan antara perasaan akan keindahan ciptaan dan kerapian tatanan alam dengan penciptanya yang maha agung dan maha tinggi, merupakan nikmat besar yang hanya dapat dirasakan oleh orang mukmin.
Fase-fase tersebut merupakan perjalanan yang akan dialami oleh setiap orang yang melakukan tafakkur. Pada fase-fase ini adakalanya orang hanya sampai kepada keadaan primitif yaitu fenomena alam, baik yang kasat mata maupun yang abstrak (ghaib), yang oleh orang tertentu dimanfaatkan untuk melihat (kasyaf), yang lebih halus, pengobatan, dan kekuatan yang luar biasa.
Sarana - sarana Tafakkur
Di dalam fenomena meditasi transendental pemusatan fikiran dengan mengulang-ulang suatu gambaran pikiran tertentu atau makna suatu keyakinan (dzikir, mantra) memiliki nilai besar bagi orang yang melakukannya. Hal ini akan menghantarkannya pada angan-angan atau gambaran yang sangat dalam dan pada konsep-konsep baru tentang sesuatu obyek pikir atau meditasi, lalu naik pada tingkatan bayangan dan gambaran yang paling sulit didapat dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh karena itu pengalaman ini disebut meditasi transendental.
Pada mulanya tafakkur, meditasi transendental berlaku universal, pengalaman-pengalaman serta pengaruh yang dirasakan sama, apakah itu metode yang yang digagas oleh Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Diantaranya yang dilakukan dalam meditasi ialah, pengosongan pikiran dan melupakan segala keruwetan dalam benak yang dapat mengganggu proses meditasi dan konsentrasi pada obyek meditasi. Ia harus kembali mengonsentrasikan pikiran pada "apa" yang ia pilih sebagai obyek pikiran dan meditasinya. Ia harus mengambil posisi duduk pasif yang rileks. Latihan ini harus selalu diulang-ulang, sehingga hari demi hari meditasi dan berfikirnya menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, fikiran menjadi bersih, jiwa menjadi sangat luas tak terbatas. Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah ,sedih, galau, dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.
Seorang mukmin akan mudah menemukan cara meditasi semacam ini, karena metode ini memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tentang penciptaan langit dan bumi yang disertai dzikir dan bertasbih kepada obyek yang maha tak terjangkau yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks, berbaring. Kesamaannya terletak pada upaya pengkonsentrasian pikiran pada obyek tertentu, ada yang menggunakan patung, irama musik, roh suci, mantra-mantra suci, dan membayangkan wujud syekh atau guru pembimbing spiritual. tujuannya adalah upaya melepaskan atau menjauhkan dari pengaruh yang mengganggu konsentrasi, keruwetan angan-angan fikiran, perasaan, ataupun kebisingan dan keramaian.
Keduanya juga sejalan dalam hal latihan,proses melihat dan mengulang kata-kata (dzikir), atau makna obyek meditasi. Oleh karena, itu seseorang yang bertafakkur bertasbih, dan bermeditasi dapat menangkap makna dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak terlintas dalam hati. Keduanya mengunakan kedalaman tafakkur untuk membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas kehidupan material menuju kebebasan menatap lepas keatas, menuju pengetahuan yang luas tak terbatas.
Kita akan berada di luar badan kecil ini, menjadi jiwa yang tidak terikat, mempunyai keluasan wujud dan kemampuan "melihat tanpa bola mata", "mendengar tanpa daun telinga" dan merasakan keuniversalan jiwa yang tak terbatas oleh waktu dan ruang. "Inilah jiwa" yang memiliki "watak" yang sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal yang membedakan adalah "kemana akhir kembalinya jiwa".
Ada beberapa jalan yang digunakan orang untuk melakukan meditasi yaitu menatap dengan pikiran kepada suatu obyek yang diyakininya. Serta sensasi yang mempengaruhi terhadap perilakunya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Eckankar, didapatkan suatu sensasi yang terjadi pada pelaku meditator, dari seluruh aliran spiritual yang ada di dunia. Eckankar menamainya kalam semesta Ilahi. Ada jenis tahapan, serta kata-kata yang dijadikan sarana untuk tafakkur, jenis pengelompokan, suasana yang dirasakan didalam spiritual, serta penjelasan dan manfaatnya. ( )
Eckankar membawa kesadaran kita menuju alam spiritual dan batasan-batasan yang dicapai oleh para meditator. Betapa ia sangat teliti dan hati-hati dalam mengungkapkan "keadaan" atau suasana yang dialami oleh spiritualis, pengelompokan dan tahapan-tahapan agar menjadi "catatan" bagi para pemula didalam menjalani "laku spiritual", terutama obyek apa yang digunakan dalam menghantarkan jiwa kembali kepada eksistensi diri sejati.
Islam menempatkan "Allah" sebagai obyek yang tak terbandingkan merupakan sarana membebaskan jiwa dari ikatan dan pengaruh alam yang dilaluinya, sehingga jiwa yang terlepas dari alam, mustahil syetan dan jin mampu menembus alam jiwa yang bebas (ikhlas). Firman Allah :
"Iblis menjawab: demi kekuasaan Engkau ,aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka" (QS 38:82-83)
Pada alam inilah "jiwa " mencapai puncak kesempurnaan spiritual tertinggi, dan Allah-pun memanggilnya kembali kesisi-Nya.
"Wahai jiwa yang tenang (yang tidak terikat oleh syahwatnya)…" "Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan rela dan meridhai" "Dan masuklah kamu kedalam syurga-Ku" (QS 89:27-30)
Pada tahapan ini Eckankar tidak mengungkapkan lebih lanjut keberadaan jiwa sejati, ia hanya mengatakan "di atas the sugmad adalah masih banyak tahapan yang belum terwujud".
Pada tahapan kesepuluh "Anami lok", dan kata-kata yang digunakan sebagai objek spiritual adalah "HU" (Hua), (dari konsep laa ilaha illa hua ... tiada Tuhan kecuali Dia) dia yang tak terbandingkan oleh sesuatu. Suatu konsep qur'ani yang membedakan dari jalan spiritual manapun dan akan terhindar dari jebakan kebisingan intuisi alam materi, yang banyak dipenuhi 'anak-anak syetan' yang menempati setiap ruang angkasa spiritual.
Dilanjutkan kepada tahapan sebelas "alam sugmad" dan tahapan duabelas "sugmad" yaitu tidak ada lagi kata-kata yang digunakan (sir) yaitu keadaan samudra cinta dan kalam Ilahi yang mengalir kepada jiwa muthmainnah (jiwa yang telah terbebas dari ikatan segala macam alam).
Kemenangan perjuangan Rasulullah menghadapi tantangan dan gangguan syetan saat beliau pergi mi'raj dengan kekuatan jiwa muthmainnah sabda Nabi:
"Orang yang gagah berani bukanlah orang yang dapat menyerbu musuhnya dengan tangkas dalam pertempuran, akan tetapi orang yang gagah berani itu sebenarnya yang kuasa dan mampu menahan hawa nafsunya" (al hadist)
"Kalaulah syetan-syetan itu tidak berkerumun di hati Bani Adam, niscaya mereka dapat memandang ke alam ghaib (abstrak)" (Hr Ahmad dari abu Hurairah)
Pada tahapan tertinggi (Al A'raaf), kita akan mampu melihat fenomena-fenomena alam di bawah, seperti intuisi yang ditimbulkan oleh halusinasi, fikiran, perasaan, dan getaran gelombang-gelombang pendek, yang dihembuskan syetan dan jin. Sebab jiwa telah melampaui tahapan-tahapan dari ikatan seluruh alam semesta menjulang menuju yang bukan alam, yaitu Dzat yang maha mutlak.
Firman Allah :
"Sesungguhnya orang-orang yag bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS 7:201)
"Syetan-syetan itu tidak dapat mendengarkan (pembicaraan) para malaikat (alam yang tinggi) dan mereka dilemparkan dari segala penjuru" (QS 37:8)
"Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas yang mengambilnya pemimpin dan atas orang yang mempersekutukannya dengan Allah" (QS 16:99-100)
Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa apabila obyek meditasinya bukan tertuju kepada yang tak terhingga, yaitu zat yang tidak sama dengan makhluq-Nya, maka selain itu adalah wilayah syetan dan anak cucunya yang siap menerkam jiwa-jiwa yang tersesat. Maka jangan heran banyak ahli dzikir yang menyimpang seakan ia mendapatkan ilham dari Allah dan kemudian mengaku sebagai nabi, sebagai imam mahdi dan wali Allah. Dan dengan seenaknya ia meninggalkan perintah-perintah Allah, tidak shalat, tidak zakat, dan berperilaku kharikul 'adah (keluar dari ketentuan syariat Allah).
Untuk diketahui bahwa orang yang sampai kepada Allah adalah orang yang mampu menangkap ilham-ilham Allah dan itu tidak akan bertentangan dengan perintah yang tertulis dalam Al Qur'an dan Al sunnah.
Kesombongan dan keangkuhan merupakan bukti keadaan jiwa masih terikat oleh pengaruh alam ciptaan. Untuk itu islam menolak didalam ibadahnya menggunakan sarana yang bukan Allah, seperti pembayangan guru, wasilah rasul, dan mantra-mantra, untuk menghantarkan jiwanya menuju Allah. Hal ini mustahil akan sampai kepada Allah yang maha mutlak, sebab bayangan sesuatu hanya akan menyampaikan jiwa menuju alam yang paling rendah yaitu alam-alam halusinasi, kekuatan alam, kekuatan jin dan syetan. Walaupun ia menggunakan sarana kalimat thayyibah (misalnya "Allah, laa ilaha illah, subhanallah"), kalimat-kalimat ini bukan sekedar kata-kata yang tidak mempunyai makna, seperti para meditator ketika memulainya meditasi menggunakan sarana bayangan roh suci, patung dan mantra-mantra suci, maka hasilnya akan menjadi sama saja dengan mereka. Hanya sampai kepada pemuasan rasa tenang dan bahagia semata dan memanfaaatkan fenomena-fenomena kekuatan ghaib untuk atraksi kekuasaan dan ke"aku"an manusia. Alam ini masih termasuk dunia syahwat.
Selama ilmu kita mengenai Tuhan terbatas kepada apa yang dibayangkan oleh pikiran dan perasaan sebagai obyek meditasi, selama itu pula kita berkutat dalam dunia spiritual yang menyimpang dari ketentuan Islam.
Didalam akhir bab ini mari kita perhatikan firman-firman Allah tentang perdebatan kecil antara Allah dan syetan:
Allah berfirman : Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku- ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi ?
Iblis berkata : Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.
Allah berfirman: maka keluarlah kamu dari syurga, sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atas kamu sampai hari pembalasan.
Iblis berkata: Ya Tuhanku … beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.
Allah berfirman: sesungguhnya kamu termasuk orang yang diberi tangguh. Sampai hari yang telah ditentukan waktunya (hari qiyamat)
Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau..aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka…. (QS 38:75-83)
Demikian penjelasan keadaan atau suasana meditasi, serta tanjakan-tanjakan yang banyak dilalui orang didalam bermeditasi atau tafakkur yang bersifat universal. Hal yang membedakan adalah, akhir dari perjalanan jiwa tersebut yaitu kembali pasrah kepada Allah yang maha mutlak (ber-Islam = berserah diri secara total)..Inna lIlahi wa inna ilaihi raji'un…..(tidak berhenti pada tahapan-tahapan alam)
Pada bab berikutnya saya akan mengajak anda membuka cakrawala meditasi dengan melatih mental spiritual. Salah satunya adalah shalat, yang merupakan sarana mi'rajnya orang mukmin. Dengan shalat inilah kita menyadari bahwa kita bertemu dengan Tuhan yang maha Agung.
Setelah memahami seluruh rangkaian pengetahuan yang saya tulis didalam setiap artikel, mudah-mudahan kita mendapatkan hidayah dari Allah Swt
Directions:
Sumber : www.dzikrullah.com
Istilah hijab sebenarnya baru muncul setelah orang mulai serius mendalami pengetahuan tentang ma'rifatullah, segala cara amalan ibadah diterapkan untuk memudahkan sampainya seseorang kepada tingkat mukhlasin. Yaitu orang yang benar-benar berada dalam keadaan rela dan menerima Allah sebagai Tuhannya secara transenden. Amalan amalan ibadah yang mereka lakukan merupakan kutipan-kutipan perintah ibadah sunnah maupun yang wajib. Sehingga mereka menyakininya bahwa mutiara-mutira Al Qur'an itu memang benar adanya.
Hijab adalah tirai penutup, didalam ilmu tasawuf biasa disebut sebagai penghalang lajunya jiwa menuju Khaliknya. Penghalang itu adalah dosa-dosa yang setiap hari kita lakukan. Dosa merupakan kabut yang menutupi mata hati, sehingga hati tidak mampu melihat kebenaran yang datang dari Allah. Nur Allah tidak bisa ditangkap dengan pasti. Dengan demikian manusia akan selalu berada dalam keragu-raguan atau was-was. Didalam bab ini saya tidak membahas masalah dosa seperti apa yang saya sebut diatas. Karena ketertutupan atau terhijabnya kita atas keberadaan Allah disebabkan ketidak tahuan (kebodohan) dan sangkaan (dzan) akan Allah yang keliru. Maka dari itu saya hanya ingin membuka wawasan dalam hal ketidaktahuan kita akan Allah, yaitu jawaban-jawaban Allah atas pertanyan kita selama ini
Seperti yang pernah saya katakan pada artikel bab hati, bahwa hati merupakan pusat dari segala kemunafikan, kemusyrikan, dan merupakan pusat dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi. Dan pusat ini merupakan tempat dimana mereka bertemu dengan Tuhannya. Merupakan janji Allah saat fitrah manusia menanyakan dimanakah Allah? Lalu, Allah menyatakan diri-Nya berada "sangat dekat", sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an :
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah) Bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran " (QS 2:186)
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (QS 50:16)
Pertanyaan tentang keberadaan Allah sering kali kita mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan, bahkan kita mendapatkan cemoohan sebagai orang yang terlalu mengada-ada. Menanyakan keberadaan "Tuhanku" adalah merupakan pertanyaan fitrah seluruh manusia.
Allahpun mengetahui akan hal ini, sehingga Allah memberikan jawaban atas pertanyaan hamba-hamba-Nya melalui Rasulullah.
Didalam ayat-ayat di atas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai "wujud" yang sangat dekat. Dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh. Maka dari itu jawaban atas pertanyaan "dimanakah Allah?". Al Qur'an mengungkapkan jawaban secara dimensional. Jawaban-jawaban tersebut tidak sebatas itu, akan tetapi dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia seutuhnya. Saat pertanyaan itu terlontar "dimanakah Allah ", Allah menjawab "….Aku ini dekat ", kemudian jawaban meningkat sampai kepada "Aku lebih dekat dari urat leher kalian…atau dimana saja kalian menghadap disitu wujud wajah-Ku ….dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu."
Keempat jawaban tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat hanya dari satu dimensi saja, akan tetapi Allah merupakan kesempurnaan wujud-Nya, seperti didalam firman Allah :
"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu. (QS 41:54)
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah maha luas lagi maha mengetahui" (QS 2:115)
Sangat jelas sekali bahwa Allah menyebut dirinya "Aku" berada meliputi segala sesuatu, dilanjutkan surat Al Baqarah ayat 115 ..dimana saja engkau menghadap disitu wajah-Ku berada!!! Kalau kita perhatikan jawaban Allah, begitu lugas dan tidak merahasiakan sama sekali akan wujud-Nya.
Namun demikian Allah mengingatkan kepada kita bahwa untuk memahami atas ilmu Allah ini tidak semudah yang kita kira. Karena kesederhanaan Allah ini sudah dirusak oleh anggapan bahwa Allah sangat jauh. Dan kita hanya bisa membicarakan Allah nanti di alam surga. Untuk mengembalikan dzan kita kepada pemahaman seperti yang diungkap oleh Al Qur'an tadi, kita hendaknya memperhatikan peringatan Allah, bahwa Allah tidak bisa ditasybihkan (diserupakan) dengan makhluq-Nya.
Didalam kitab tafsir Jalalain ataupun didalam tafsir fi dzilalil qur'an, membahas masalah surat Fushilat ayat 54, … Allah meliputi segala sesuatu … adalah ilmu atau kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, bukan dzat-Nya.
Pendapat ini merupakan tafsiran ulama, untuk mencoba menghindari kemungkinan masyarakat awam mentasybihkan (menyerupakan) wujud Allah dengan apa yang terlintas didalam fikirannya ataupun perasaannya. Sehingga "Allah" sebagai wujud sejati ditafsirkan dengan sifat-sifat Nya yang meliputi segala sesuatu. Untuk itu, saya huznudzan memahami pemikiran para mufassirin sebagai pendekatan ilmu dan membatasi pemikiran para awam.
Akan tetapi kalau "Allah" ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya, yang meliputi segala sesuatu. Akan timbul pertanyaan, kepada apanya kita menyembah? Apakah kepada ilmunya, kepada kekuasaan-Nya atau kepada wujud-Nya? Kalau dijawab dengan kekuasan-Nya atau dengan ilmu-Nya maka akan bertentangan dengan firman Allah :
"Sesungguhnya Aku ini Allah , tidak ada tuhan kecuali "Aku", maka sembahlah "Aku" (QS 20:14)
Ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau dzat Allah, kalimat … sembahlah "Aku". Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan menghadapkan wajahnya kepada wajah Dzat yang Maha Mutlak. Sekaligus menghapus pernyataan selama ini yang justru menjauhkan "pengetahuan kita " tentang dzat, kita menjadi takut kalau membicarakan dzat, padahal kita akan menuju kepada pribadi
Allah, bukan nama, bukan sifat dan bukan perbuatan Allah. Kita akan bersimpuh dihadapan sosok-Nya yang sangat dekat.
Ungkapan tentang Tuhan, juga disebut sebagai dalil pertama yang menyinggung hubungan antara dzat, sifat, dan af'al (perbuatan) Allah. Diterangkan bahwa dzat meliputi sifat … sifat menyertai nama … nama menandai af'al. Hubungan-hubungan ini bisa diumpamakan seperti madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa dipisahkan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti segala tingkah laku yang bercermin, bayangannya pasti mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan ombaknya, keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra.
Uraian di atas menjelaskan, betapa eratnya hubungan antara dzat, sifat, asma, dan af'al Tuhan. Hubungan antara dzat, dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara madu dan rasa manisnya. Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan dzat..namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kalimat …. Allah meliputi segala sesuatu (QS 41:54) adalah kesempurnaan ..dzat , sifat, asma, dan af'al. Sebab kalau hanya disebut sifatnya saja yang meliputi segala sesuatu, lantas ada pertanyan, "sifat" itu bergantung kepada apa atau siapa ? Jelas akan bergantung kepada pribadi (Aku) yang memiliki sifat. Kemudian kalau sifat yang meliputi segala sesuatu, kepada siapakah kita menghadap? Kepada Dzat atau sifat Allah. Kalau sifat Allah sebagai obyek ibadah kita, maka kita telah tersesat, sebab sifat, asma dan perbuatan Allah bukanlah sosok dzat yang Maha Mutlak itu sendiri.
Semua selain Allah adalah hudust (baru),.karena "adanya" sebagai akibat adanya sang Dzat. seperti adanya alam, adanya malaikat, adanya jin dan manusia. Semua ada karena adanya dzat yang maha qadim. Seperti perumpamaan madu dan manisnya, sifat manis tidak akan ada kalau madu itu tidak ada. Dan sifat manis itu bukanlah madu. Sebaliknya madu bukanlah sifat manis. Artinya sifat manis tergantung kepada adanya "madu". Apakah Dzat itu, … seperti apa? Apakah ada orang yang mampu menjabarkan keadaannya ?
Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan. Untuk bisa memahami Tuhan, kita harus mengerti keterbatasan-keterbatasan konsepsi kita sendiri, karena menurut perspektif ketakperbandingan tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri!!! Karena itu kita punya pengertian tentang Tuhan, "Tuhan" konsepsi saya dan "Tuhan" konsepsi hakiki, yang berada jauh diluar konsepsi saya. Tuhan yang dibicarakan berkaitan dengan "konsepsi saya". Konsepsi Dzat yang hakiki tidak bisa kita fahami, baik oleh saya maupun anda. Karena itu kita tidak bisa berbicara tentangnya secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh konsepsi manusia. Seperti, Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir), Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu), cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya), tidak laki-laki dan tidak tidak perempuan, tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst….
Kenyataan Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar tauhid `laa ilaha illallah atau laisa ka mistlihi syai'un' (tidak sama dengan sesuatu). Karena tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-benar dzat maha tinggi, sementara kosmos berikut segala isinya hanya secara relatif bersifat hakiki, maka realitas Ilahi berada jauh diluar pemahaman realitas makhluq. Dzat yang maha mutlak tidak bisa dijangkau oleh yang relatif.
Kita dan kosmos (alam) berhubungan dengan tuhan melalui sifat-sifat Ilahi yang menampakkan jejak-jejak dan tanda-tandanya dalam eksistensi kosmos. Kita tidak bisa mengenal dan mengetahui Tuhan dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos (sifat, nama, af'al). Firman Allah:
"Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai nama-nama yang yang indah "(QS 20:8)
Sifat, nama, dan af'al, secara relatif bisa dirasakan dan difahami "maknanya". Akan tetapi "Dzat", adalah realitas mutlak. Dan untuk memahami secara hakiki harus mampu memfanakan diri, ... yaitu memahami keberadaan makhluq adalah tiada….
Untuk lebih jelasnya akan saya berikan perumpamaan keberadaan alam dan yang menciptakan.
Ketika kita melihat kereta api berjalan diatas rel, terbetik dibenak kita suatu pertanyaan. Bagaimana roda-roda yang berat itu bisa bergerak dan lari. Tak lama kemudian kita akan sampai kepada pemikiran tetang alat-alat dan mesin-mesin itulah yang menggerakkan roda yang berat itu. Adakah setelah itu kita dibenarkan jika berpendapat bahwa alat kereta itu sendiri yang menggerakkan kereta tersebut. Perkaranya tidak semudah itu, sebab kita tidak boleh mengabaikan bahwa disana ada masinis yang mengendalikan mesin. Kemudian ada insinyur yang menciptakan rancangan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, maka pada hakekatnya tak ada wujud bagi kereta itu, dan tidaklah mungkin terjadi gerakan dan perputaran pada roda-roda tanpa kerja insinyur. Mesin-mesin itu bukanlah akhir dari cerita sebuah kereta api, akan tetapi hakikat yang paling akhir adalah "akal" yang telah mengadakan mesin itu, kemudian menggerakkan menurut rencana yang telah dipersiapkan.
Mengikuti ilustrasi realitas kereta api, mulai dari gerbong yang digerakkan oleh roda-roda, kemudian roda-roda digerakkan oleh mesin, mesin digerakkan oleh masinis, dan semua itu direncanakan, oleh yang menciptakan yaitu insinyur. Pertanyaan terakhir adalah : "Mungkinkah roda-roda, mesin, dan alat-alat kereta api itu mampu melihat yang menciptakan?" Jawabannya adalah insinyur itu sendiri yang mengetahui akan dirinya, sebab kereta api dan insinyur berbeda keadaan dan bukan perbandingan….
Realitas instrumen kereta api tidak ada satupun yang serupa jika dibandingkan dengan keadaan realitas insinyur. Kemudian mengetahui keadaan realitas kereta api dari awal sampai akhir, merupakan kefanaan atau penafian bahwa realitas kereta api adalah ciptaan semata.
Firman Allah :
"(yang memiliki sifat-sifat yang..) Demikian itu ialah Tuhan kamu. Tidak ada Tuhan selain Dia. pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan. Dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui" ( QS 6:102-103)
Realitas bahwa Dzat tuhan tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS 26:11) ... berlaku sampai diakhirat kelak. Walaupun Tuhan sendiri mengatakan bahwa manusia di alam surga akan melihat realitas Tuhan secara nyata atas eksistensi Allah, bukan berarti kita melihat dengan perbandingan pikiran manusia … yang dimaksud melihat secara hak disini adalah kesadaran jiwa muthmainnah yang telah lepas dari ikatan alam atau kosmos.
Atau biasa disebut "fana", keadaan ini manusia dan alam seperti keadaan sebelum diciptakan yaitu keadaan masih kosong 'awang uwung' (jawa), kecuali Allah sendiri yang ada. Tidak ada yang mengetahui keadaan ini kecuali Allah sendiri.
Keadaan awal (Al Awwalu) tidak ada yang wujud selain Allah, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada alam apapun yang tercipta. Untuk mengetahui keadaan seperti ini marilah kita ikuti kisah nabi Musa As. Firman Allah :
"Dan tatkala Musa datang (untuk munajat) dengan Kami, pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. Berkatalah Musa : ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku. Agar aku dapat melihat kepada Engkau. Tuhan berfirman: kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihat-lah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagaimana sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan, maka setelah Musa sadar kembali dia berkata. Maha Suci Engkau, dan aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman …" (QS 7:143)
Ada yang menarik dalam peristiwa "pertemuan" nabi Musa ... dan saya hubungkan dengan pembahasan mengenai keadaan "kefanaan" manusia dan alam. Yakni keadaan hancur luluh lantak keadaan gunung Thursina dan keadaan Musa jatuh pingsan!!! Setelah gunung itu hancur dan Musa-pun jatuh pingsan, tidak satupun yang terlintas realitas apapun didalam perasan Musa dan fikirannya, kecuali ia tidak tahu apa-apa. Yaitu realitas konsepsi manusia dan alam tidak ada (fana). Dalam keadaan inilah Musa melihat realita Tuhan, bahwa benar Tuhan tidak bisa dibandingkan oleh sesuatu apapun. Kemudian Musa kembali sadar memasuki realitas dirinya sebagai manusia dan alam. Musa berkata :aku orang yang pertama-tama beriman..dan percaya bahwa Allah tidak seperti konsepsi "saya".
Setelah kita mengetahui dan faham akan Dzat, sifat, dan af'al Allah, teranglah fikiran dan batin kita, sehingga secara gamblang kedudukan kita dan Allah menjadi jelas, yaitu yang hakiki dan yang bukan hakiki. Terbukalah mata kita dari ketidaktahuan akan Dzat. Ketidaktahuan inilah yang saya maksudkan dengan tertutupnya hijab, sehingga perlu disadarkan oleh kita sendiri dan kemudian mengenal-Nya (ma'rifat)
Syekh Ahmad bin `Athaillah, didalam Al Hikam menyebutkan bahwa :
"Tiada sesuatu benda yang menghijab engkau dari Allah, tetapi yang menghijab engkau adalah persangkaanmu adanya sesuatu disamping Allah, sebab segala sesuatu selain dari Allah itu pada hakikatnya tidak maujud (tidak ada) sebab yang wajib ada hanya Allah, sedang yang lainnya terserah kepada belas kasihan Allah untuk diadakan atau ditiadakan".
Seorang arif berkata : "Adanya makhluq semua ini bagaikan adanya bayangan pohon di dalam air. Maka ia tidak akan menhalangi jalannya perahu. Maka hakikat yang sebenarnya tiada sesuatu benda apapun yang maujud disamping Allah untuk menghijab engkau dari Allah. Hanya engkau sendiri mengira bayangan itu sebagai sesuatu yang maujud."
Ibarat seseorang yang bermalam disuatu tempat, tiba-tiba pada malam hari ketika ia akan buang air, terdengar suara angin yang menderu masuk lobang sehingga persis sama dengan suara harimau, maka ia tidak berani keluar. Tiba pada pagi hari ia tidak melihat bekas-bekas harimau, maka ia tahu bahwa itu hanya tekanan angin yang masuk ke lobang, bukan tertahan oleh harimau, hanya karena perkiraan adanya harimau.
Sang Syekhk berkata : "andaikan Allah tidak dhahir pada benda-benda alam ini, tidak mungkin adanya penglihatan pada-Nya. Dan andaikan Allah tidak mendhahirkan sifat-sifat-Nya, pasti lenyaplah alam benda-benda. Ketika Allah bertajalli kepada gunung, hancurlah gunung itu, sedang Musa jatuh pingsan … "
Pertanyaan demi pertanyaan timbul dari ketidaktahuan (hijab), kenyataaan bahwa Allah sangat dekat … tertutup oleh kebodohan ilmu kita selama ini. Allah seakan jauh diluar sana …sehingga kita tidak merasakan kehadiran-Nya yang terus menerus berada dalam kehidupan kita. Dari keterangan diatas menyimpulkan bahwa kita ternyata telah salah kaprah mengartikan sosok dzat selama ini, yang kita sangka adalah konsepsi "saya", bukan konsepsi hakiki, yaitu wujud yang tak terbandingkan oleh perasaan, pikiran , mata hati, dan seterusnya. Allah kita adalah Allahnya Musa, ... Allahnya Ibrahim, ... dan Allahnya Muhammad … yaitu yang Maha tak terjangkau oleh apapun…
Kini saatnya kita bertakbir tertuju kepada dzat …bukan kepada sifat … (fa' bud nii) sembahlah AKU …, sehingga fanalah "diri" dan semesta.
Tafakkur dan Meditasi Transendental
Setelah kita mengetahui dan mengenal Allah secara ilmu, maka semakin mudahlah kita untuk memulai berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya. Kita telah meyakini bahwa kita akan kembali kepada-Nya sekarang ... bukan besok !
Firman Allah :
"Hai manusia, sesungguhnya engkau berusaha sungguh-sungguh menuju kepada Tuhanmu, maka engkau akan menemuinya". (QS 84:6)
"ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan tuhan mereka. Ingatlah bahwa Allah maha meliputi segala sesuatu". (QS 41:54).
Didalam ayat lain dikatakan, bahwa shalat itu adalah pekerjaan yang amat sulit, kecuali bagi orang yang khusyu'. Siapakah orang yang khusyu' itu, ialah orang yang mempunyai sangkaan bahwa ia akan bertemu dengan Allah dan mereka adalah orang yang kembali kepada Allah. Rajiun artinya; orang yang kembali (kedudukannya sebagai fa'il), bukan yang akan kembali.
Kekhusyu'an shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya tidak akan bisa dicapai, kalau kita tidak mengerti ilmu tauhid, yaitu mengerti akan Allah secara hakiki. Dasar tauhid inilah yang menjadi bekal kita untuk menuju tawajjuh kepada Allah, dan merupakan jalan yang membedakan dari peribadatan-peribadatan agama lain selain Islam.
Pada tatanan fenomena fisik dan psikis, mungkin kita akan mengalami kesamaan dengan perjalanan meditator … penyembuh, pastor, atau pendeta … biksu yang tekun beribadah … atau kadang juga sama dengan penggali spiritual yang tidak menggunakan pengertian ke-Tuhanan sama sekali …
Pengalaman-pengalaman ini bukanlah penentu sebuah kebenaran spiritual tertentu. Akan tetapi hal ini, seperti keadaan ilmu-ilmu yang lainnya yang bersifat universal, seperti perasaan rindu …cinta … sedih … bahagia dan ketenangan. Keadaan ini bisa disebut sebagian dari pengalaman perasaan rohani. Yang tidak bisa kita klaim sebagai milik orang Islam saja..atau orang kristen ... dan yang lain.
Banyak pendeta yang berdoa di gereja memohon kesembuhan bagi si penderita sakit parah ... ia bisa sembuh …pendeta Budha pun demikian ... dan tidak sedikit pula dari kalangan Islam yang bukan kyai bisa berdoa untuk yang sakit, ... iapun bisa sembuh.
Dari sudut pandang psikolgi modern, tafakkur termasuk bagian dari psikologi berfikir. Lapangan sentral kajian psikologi tradisional pada masa-masa sebelum aliran behaviorisme mendominasi psikologi. Pada masa-masa awal, psikologi banyak terfokuskan pada studi sekitar pikiran, kandungan perasaan, dan bangunan akal manusia. Pembahasan masalah belajar hanya dikaji melalui tema-tema tersebut, kemudian muncul aliran behaviorisme dengan konsep-konsepnya yang terkenal. Aliran ini, akhirnya mengubah secara besar-besaran pandangan-pandangan sebelumnya, kemudian menempatkan kajian mengenai proses belajar manusia, melalui rangsangan dan respon yang timbul, menjadi tema utama psikologi. Perasaan, kandungan akal, dan pikiran dianggap sebagai masalah yang tidak dapat dijangkau dan dipelajari secara langsung, sebagaimana juga metode yang dipakai untuk mempelajarinya, seperti metode intropeksi, dikritik karena tidak dapat dibuktikan secara empiris. Para penganut faham behaviorisme menginginkan psikologi sebagai ilmu empiris berdasarkan fenomena-fenomena lahiriah yang dapat dikaji dilaboratorium. Menurut mereka, segala kegiatan kognitif dan perasaan yang ada dan terjadi dalam benda-benda hidup merupakan akibat dari interaksinya dengan pengaruh-pengaruh tertentu.
Kegiatan-kegiatan "pikiran dalam" itu, mereka anggap sebagai suatu peti terkunci yang bagian dalamnya tidak mungkin diketahui dengan jelas. Karena itu, tidak perlu menghabiskan waktu untuk mempelajarinya. Adapun berbagai respon dan tanggapan yang timbul akibat kegiatan dalam yang dapat diukur dan diamati, merupakan pusat perhatian kajian ilmiah empiris mereka.
Hal yang lebih pelik dan kompleks bagi kita, orang Islam, adalah bahwa salah satu unsur pembentukan perilaku manusia terpenting telah ditinggalkan oleh psikologi barat modern, meskipun banyak penemuan modern telah membuktikan pentingnya unsur tersebut, yaitu unsur spiritual. Psikologi modern hanya berpegang pada unsur psikologis, biologis sosial dan kultural sebagai unsur-unsur pembentukan perilaku manusia, dengan alasan, mudah didefinisikan jika dibandingkan dengan sisi spiritual. Selain itu, ia juga menolak segi spiritual karena dianggap tumbuh dari pandangan agama.
Sebagian kalangan Islam juga menolak pentingnya tafakkur, yang merupakan unsur penting dari suatu agama disamping tatanan hukum syariat. Mereka menganggap perbuatan itu adalah bid'ah.
Awal dari segala perbuatan adalah kegiatan berfikir dan kognitif dialam sadar. Berdasarkan hal itu, orang selalu berfikir panjang dan mendalam atau bertafakur sehingga dengan mudah melaksanakan segala ibadah dan ketaatan lainnya. Dalam hal ini Al Ghazaly dalam Ihya'nya mengatakan: "Jika ilmu sudah sampai dihati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan akan
berubah. Perbuatan mengikuti keadaan (hal), keadaan mengikuti ilmu, dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dan kunci segala kebaikan, dan yang menyingkapkan keutamaan tafakkur. Pikiran lebih baik daripada dzikir, karena pikiran adalah dzikir plus". (Abu Hamid Al Ghazaly, Ihya' ulumuddin jilid IV hal. 389)
Sebagaimana kegiatan berfikir adalah kunci kebaikan dan amal shaleh, ia juga merupakan segala perbuatan lahir dan batin. Oleh karena itu, hati yang selalu merenung atau bertafakkur tentang ketinggian dan keagungan Allah Swt, serta memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar dengan mudah niat-niat jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena, ia memiliki kepekaan dan ketajaman sebagai hasil dzikir dan tafakkurnya yang berkesinambungan itu. Setiap kali terlintas suatu niat jahat atau buruk kedalam hati, maka pikiran, perasaan dan pandangan baiknya dapat segera mengetahui dan menguasainya, lalu menghancurkan keberadaannya. Seperti anggota badan yang sehat dapat menolak dan menghancurkan penyakit yang mencoba menghinggapinya.
Seorang yang alim yang menyambung malam dan siang dengan tafakkur tentang keagungan Allah, tentang kehidupan dunia dan akhirat adalah seorang yang terjaga. Manakala terlintas sedikit saja niat jelek yang mencoba menghampirinya, api kebaikan akan menghantamnya atau membakarnya, seperti lemparan api yang menjaga langit dari intaian syetan yang hendak mencuri pendengaran; "sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS 7:201)
Jadi, tafakkur memanfaaatkan segala fasilitas pengetahuan yang digunakan manusia dalam proses berfikir. Tafakkur adalah menerawang jauh dan menerobos alam dunia kedalam alam akhirat, dari alam ciptaan menuju kepada pencipta. Loncatan inilah yang disebut al ibrah, melihat jauh sarat pengetahuan.
Berfikir kadang hanya terbatas, pada upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan dunia, yang mungkin terlepas dari emosi kejiwaan, sedang tafakkur dapat menerobos sempitnya dunia ini menuju alam akhirat yang luas, keluar dari belenggu materi menuju alam spiritual yang tiada batas. Mungkin hal ini yang dimaksudkan oleh psikolog sebagai kecerdasan jiwa yang hebat.
Tafakkur dapat menggerakkan semua kegiatan kognitif serta pikiran dalam dan luar seorang mukmin. Dr. Malik Badri, ahli psikoterapi dari Sudan berpendapat, perwujudan tafakkur memiliki dan melalui tiga fase dan berakhir pada fase keempat, yang disebut istilah "syuhud". Diawali dengan pengetahuan yang didapat dari persepsi empiris yang langsung. Melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indra lainnya. Atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi, atau kadang pengetahuan rasional yang abstrak. Sebagian besar pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi atau sentimen.
Kalau seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi keindahan, kekuatan, keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan dingin menuju rasa kekaguman akan keagungan ciptaan, susunannya rapi, pemandangannya yang indah. Fase ini adalah fase kedua, fase tempat bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ini ia berpindah menuju sang pencipta dengan penuh kekhusyu'an sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Sekadar dapat memandang dan menyaksikan ciptaan-Nya tidak lebih dari fase awal yang primitif, pada fase ini antara pandangan seorang mukmin dan orang kafir tidak ada bedanya. Fase kedua, yaitu fase tadhawwuk, pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah, fase ini dapat dirasakan, baik oleh orang mukmin maupun oleh orang kafir, tanpa mellihat sisi keimanan atau sisi kekufuran. Akan tetapi, pada fase pengetahuan ketiga yang menghubungkan antara perasaan akan keindahan ciptaan dan kerapian tatanan alam dengan penciptanya yang maha agung dan maha tinggi, merupakan nikmat besar yang hanya dapat dirasakan oleh orang mukmin.
Fase-fase tersebut merupakan perjalanan yang akan dialami oleh setiap orang yang melakukan tafakkur. Pada fase-fase ini adakalanya orang hanya sampai kepada keadaan primitif yaitu fenomena alam, baik yang kasat mata maupun yang abstrak (ghaib), yang oleh orang tertentu dimanfaatkan untuk melihat (kasyaf), yang lebih halus, pengobatan, dan kekuatan yang luar biasa.
Sarana - sarana Tafakkur
Di dalam fenomena meditasi transendental pemusatan fikiran dengan mengulang-ulang suatu gambaran pikiran tertentu atau makna suatu keyakinan (dzikir, mantra) memiliki nilai besar bagi orang yang melakukannya. Hal ini akan menghantarkannya pada angan-angan atau gambaran yang sangat dalam dan pada konsep-konsep baru tentang sesuatu obyek pikir atau meditasi, lalu naik pada tingkatan bayangan dan gambaran yang paling sulit didapat dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh karena itu pengalaman ini disebut meditasi transendental.
Pada mulanya tafakkur, meditasi transendental berlaku universal, pengalaman-pengalaman serta pengaruh yang dirasakan sama, apakah itu metode yang yang digagas oleh Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Diantaranya yang dilakukan dalam meditasi ialah, pengosongan pikiran dan melupakan segala keruwetan dalam benak yang dapat mengganggu proses meditasi dan konsentrasi pada obyek meditasi. Ia harus kembali mengonsentrasikan pikiran pada "apa" yang ia pilih sebagai obyek pikiran dan meditasinya. Ia harus mengambil posisi duduk pasif yang rileks. Latihan ini harus selalu diulang-ulang, sehingga hari demi hari meditasi dan berfikirnya menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, fikiran menjadi bersih, jiwa menjadi sangat luas tak terbatas. Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah ,sedih, galau, dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.
Seorang mukmin akan mudah menemukan cara meditasi semacam ini, karena metode ini memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tentang penciptaan langit dan bumi yang disertai dzikir dan bertasbih kepada obyek yang maha tak terjangkau yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks, berbaring. Kesamaannya terletak pada upaya pengkonsentrasian pikiran pada obyek tertentu, ada yang menggunakan patung, irama musik, roh suci, mantra-mantra suci, dan membayangkan wujud syekh atau guru pembimbing spiritual. tujuannya adalah upaya melepaskan atau menjauhkan dari pengaruh yang mengganggu konsentrasi, keruwetan angan-angan fikiran, perasaan, ataupun kebisingan dan keramaian.
Keduanya juga sejalan dalam hal latihan,proses melihat dan mengulang kata-kata (dzikir), atau makna obyek meditasi. Oleh karena, itu seseorang yang bertafakkur bertasbih, dan bermeditasi dapat menangkap makna dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak terlintas dalam hati. Keduanya mengunakan kedalaman tafakkur untuk membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas kehidupan material menuju kebebasan menatap lepas keatas, menuju pengetahuan yang luas tak terbatas.
Kita akan berada di luar badan kecil ini, menjadi jiwa yang tidak terikat, mempunyai keluasan wujud dan kemampuan "melihat tanpa bola mata", "mendengar tanpa daun telinga" dan merasakan keuniversalan jiwa yang tak terbatas oleh waktu dan ruang. "Inilah jiwa" yang memiliki "watak" yang sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal yang membedakan adalah "kemana akhir kembalinya jiwa".
Ada beberapa jalan yang digunakan orang untuk melakukan meditasi yaitu menatap dengan pikiran kepada suatu obyek yang diyakininya. Serta sensasi yang mempengaruhi terhadap perilakunya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Eckankar, didapatkan suatu sensasi yang terjadi pada pelaku meditator, dari seluruh aliran spiritual yang ada di dunia. Eckankar menamainya kalam semesta Ilahi. Ada jenis tahapan, serta kata-kata yang dijadikan sarana untuk tafakkur, jenis pengelompokan, suasana yang dirasakan didalam spiritual, serta penjelasan dan manfaatnya. ( )
Eckankar membawa kesadaran kita menuju alam spiritual dan batasan-batasan yang dicapai oleh para meditator. Betapa ia sangat teliti dan hati-hati dalam mengungkapkan "keadaan" atau suasana yang dialami oleh spiritualis, pengelompokan dan tahapan-tahapan agar menjadi "catatan" bagi para pemula didalam menjalani "laku spiritual", terutama obyek apa yang digunakan dalam menghantarkan jiwa kembali kepada eksistensi diri sejati.
Islam menempatkan "Allah" sebagai obyek yang tak terbandingkan merupakan sarana membebaskan jiwa dari ikatan dan pengaruh alam yang dilaluinya, sehingga jiwa yang terlepas dari alam, mustahil syetan dan jin mampu menembus alam jiwa yang bebas (ikhlas). Firman Allah :
"Iblis menjawab: demi kekuasaan Engkau ,aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka" (QS 38:82-83)
Pada alam inilah "jiwa " mencapai puncak kesempurnaan spiritual tertinggi, dan Allah-pun memanggilnya kembali kesisi-Nya.
"Wahai jiwa yang tenang (yang tidak terikat oleh syahwatnya)…" "Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan rela dan meridhai" "Dan masuklah kamu kedalam syurga-Ku" (QS 89:27-30)
Pada tahapan ini Eckankar tidak mengungkapkan lebih lanjut keberadaan jiwa sejati, ia hanya mengatakan "di atas the sugmad adalah masih banyak tahapan yang belum terwujud".
Pada tahapan kesepuluh "Anami lok", dan kata-kata yang digunakan sebagai objek spiritual adalah "HU" (Hua), (dari konsep laa ilaha illa hua ... tiada Tuhan kecuali Dia) dia yang tak terbandingkan oleh sesuatu. Suatu konsep qur'ani yang membedakan dari jalan spiritual manapun dan akan terhindar dari jebakan kebisingan intuisi alam materi, yang banyak dipenuhi 'anak-anak syetan' yang menempati setiap ruang angkasa spiritual.
Dilanjutkan kepada tahapan sebelas "alam sugmad" dan tahapan duabelas "sugmad" yaitu tidak ada lagi kata-kata yang digunakan (sir) yaitu keadaan samudra cinta dan kalam Ilahi yang mengalir kepada jiwa muthmainnah (jiwa yang telah terbebas dari ikatan segala macam alam).
Kemenangan perjuangan Rasulullah menghadapi tantangan dan gangguan syetan saat beliau pergi mi'raj dengan kekuatan jiwa muthmainnah sabda Nabi:
"Orang yang gagah berani bukanlah orang yang dapat menyerbu musuhnya dengan tangkas dalam pertempuran, akan tetapi orang yang gagah berani itu sebenarnya yang kuasa dan mampu menahan hawa nafsunya" (al hadist)
"Kalaulah syetan-syetan itu tidak berkerumun di hati Bani Adam, niscaya mereka dapat memandang ke alam ghaib (abstrak)" (Hr Ahmad dari abu Hurairah)
Pada tahapan tertinggi (Al A'raaf), kita akan mampu melihat fenomena-fenomena alam di bawah, seperti intuisi yang ditimbulkan oleh halusinasi, fikiran, perasaan, dan getaran gelombang-gelombang pendek, yang dihembuskan syetan dan jin. Sebab jiwa telah melampaui tahapan-tahapan dari ikatan seluruh alam semesta menjulang menuju yang bukan alam, yaitu Dzat yang maha mutlak.
Firman Allah :
"Sesungguhnya orang-orang yag bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS 7:201)
"Syetan-syetan itu tidak dapat mendengarkan (pembicaraan) para malaikat (alam yang tinggi) dan mereka dilemparkan dari segala penjuru" (QS 37:8)
"Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas yang mengambilnya pemimpin dan atas orang yang mempersekutukannya dengan Allah" (QS 16:99-100)
Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa apabila obyek meditasinya bukan tertuju kepada yang tak terhingga, yaitu zat yang tidak sama dengan makhluq-Nya, maka selain itu adalah wilayah syetan dan anak cucunya yang siap menerkam jiwa-jiwa yang tersesat. Maka jangan heran banyak ahli dzikir yang menyimpang seakan ia mendapatkan ilham dari Allah dan kemudian mengaku sebagai nabi, sebagai imam mahdi dan wali Allah. Dan dengan seenaknya ia meninggalkan perintah-perintah Allah, tidak shalat, tidak zakat, dan berperilaku kharikul 'adah (keluar dari ketentuan syariat Allah).
Untuk diketahui bahwa orang yang sampai kepada Allah adalah orang yang mampu menangkap ilham-ilham Allah dan itu tidak akan bertentangan dengan perintah yang tertulis dalam Al Qur'an dan Al sunnah.
Kesombongan dan keangkuhan merupakan bukti keadaan jiwa masih terikat oleh pengaruh alam ciptaan. Untuk itu islam menolak didalam ibadahnya menggunakan sarana yang bukan Allah, seperti pembayangan guru, wasilah rasul, dan mantra-mantra, untuk menghantarkan jiwanya menuju Allah. Hal ini mustahil akan sampai kepada Allah yang maha mutlak, sebab bayangan sesuatu hanya akan menyampaikan jiwa menuju alam yang paling rendah yaitu alam-alam halusinasi, kekuatan alam, kekuatan jin dan syetan. Walaupun ia menggunakan sarana kalimat thayyibah (misalnya "Allah, laa ilaha illah, subhanallah"), kalimat-kalimat ini bukan sekedar kata-kata yang tidak mempunyai makna, seperti para meditator ketika memulainya meditasi menggunakan sarana bayangan roh suci, patung dan mantra-mantra suci, maka hasilnya akan menjadi sama saja dengan mereka. Hanya sampai kepada pemuasan rasa tenang dan bahagia semata dan memanfaaatkan fenomena-fenomena kekuatan ghaib untuk atraksi kekuasaan dan ke"aku"an manusia. Alam ini masih termasuk dunia syahwat.
Selama ilmu kita mengenai Tuhan terbatas kepada apa yang dibayangkan oleh pikiran dan perasaan sebagai obyek meditasi, selama itu pula kita berkutat dalam dunia spiritual yang menyimpang dari ketentuan Islam.
Didalam akhir bab ini mari kita perhatikan firman-firman Allah tentang perdebatan kecil antara Allah dan syetan:
Allah berfirman : Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku- ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi ?
Iblis berkata : Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.
Allah berfirman: maka keluarlah kamu dari syurga, sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atas kamu sampai hari pembalasan.
Iblis berkata: Ya Tuhanku … beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.
Allah berfirman: sesungguhnya kamu termasuk orang yang diberi tangguh. Sampai hari yang telah ditentukan waktunya (hari qiyamat)
Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau..aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka…. (QS 38:75-83)
Demikian penjelasan keadaan atau suasana meditasi, serta tanjakan-tanjakan yang banyak dilalui orang didalam bermeditasi atau tafakkur yang bersifat universal. Hal yang membedakan adalah, akhir dari perjalanan jiwa tersebut yaitu kembali pasrah kepada Allah yang maha mutlak (ber-Islam = berserah diri secara total)..Inna lIlahi wa inna ilaihi raji'un…..(tidak berhenti pada tahapan-tahapan alam)
Pada bab berikutnya saya akan mengajak anda membuka cakrawala meditasi dengan melatih mental spiritual. Salah satunya adalah shalat, yang merupakan sarana mi'rajnya orang mukmin. Dengan shalat inilah kita menyadari bahwa kita bertemu dengan Tuhan yang maha Agung.
Setelah memahami seluruh rangkaian pengetahuan yang saya tulis didalam setiap artikel, mudah-mudahan kita mendapatkan hidayah dari Allah Swt
Directions:
Sumber : www.dzikrullah.com
ALLAH ITU DEKAT
Ingredients:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran ( Al Baqarah: 186)
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat dari pada urat lehernya (Al Qaaf:16)
Pada ayat yang pertama, Allah menyatakan dirinya " dekat", sedangkan pada ayat kedua terdapat isim tafdhil ... untuk menjelaskan lebih dari itu ... yaitu "lebih dekat", artinya Tuhan "berada" setelah anda mengetahui hakikat diri, siapa diri ini sebenarnya, yang mana diri ini … dst. Bagaimana kita akan tahu tempat Allah, sedangkan diri kita saja belum faham … man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu … barang siapa tahu akan dirinya maka pasti akan tahu Tuhannya".
Kalimat "Aqrabu min hablil warid" … memberikan pengertian bahwa Allah ada diatas hakikat diri manusia bukan didalam hati manusia, juga bukan didalam jiwa manusia. Dia ada didalam dan diluar sekaligus.
Dia meliputi segala sesuatu (Al Fushilat: 54)
Jadi untuk memandang Allah atau menyebut namanya jangan keliru melihat kepada bathin manusia yang seolah-olah Allah bersemayam didalam rongga dada manusia … Akan tetapi lebih dari itu….
Pertanyaan anda mengenai wanahnu aqrabu ilaihi min hablil warid, sebenarnya sudah saya bahas dengan gamblang dan luas ... dilihat dari segi bahasa maupun filsafatnya, saya akan kesulitan membahas ini jika hanya sepotong-sepotong, atau dengan kalimat yang sangat singkat… saya takut menjadi fitnah ... Jika anda serius tolong anda ulangi lagi membaca artikel yang telah saya posting di forum dzikrullah pada bab Membuka Hijab, disana dijelaskan secara terbuka dan tidak ada yang dirahasiakan, … disitu dibahas masalah pertanyaan, dimana Allah? Seperti apa dzat Allah itu ? Bagaimana kita melihat Allah ? …dst
Kalau masih ada kesulitan berkaitan dengan itu semua, Insya Allah saya bersedia menjelaskan kembali ….
Mengenai thariqah … sah-sah saja, asal tidak menyimpang dari ketentuan Alqur'an dan Al hadist, saya setuju. Yang saya tidak setuju, jika mengatakan yang tidak ikut thariqat tertentu tidak diterima Allah amalnya, karena persoalan sanad (silsilah) … Bagaimana jika kita bersandar kepada sumber Alqur'an yang dijamin kebenarannya ?
Mengenai mursyid, ... selama anda tidak menganggap beliau sebagai penghubung roh anda atau wasilah menuju Allah, … boleh saja. Jadikanlah beliau sebagai panutan ... bukan kultus, … sebab bisa-bisa menjadi syirk, jika harus membayangkan sang guru (mursyid) saat hendak berdziklir kepada Allah. Hilangkan, atau nafikan siapa saja selain Allah.
… Laa ilaha illallah Muhammadar Rasulullah …
Rasulullah hanya sebagai abdi Tuhan, dan sebagai pemberi peringatan, … dan Rasulullah tidak mampu membuka hidayah pamannya sendiri. Nabi Nuh tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya yang kafir.
innaka latahdi man ahbabta ….sesungguhnya kamu tidak akan bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai sekalipun (Al Qashas: 56), yang kita bisa hanyalah mendo'akan, bukan membuka jalan menuju Allah
Ihdinash shiraathal mustaqiem … tunjukkan Kami jalan yang lurus … mintalah petunjuk atau hidayah langsung kepada Allah, … seperti hendak shalat, … shalat merupakan thariqah yang sempurna, maka lakukanlah shalat dengan sungguh-sungguh maka anda akan menemui Tuhan dengan selamat … tidak ada keraguan atas thariqah yang satu ini, ... dan diterima diseluruh kalangan aliran Islam … akan tetapi shalat tidak akan mendapat manfaat apa-apa, jika didalam melakukannya tidak mengerti ilmunya ... bukan asal shalat …
Saya justru ingin melestarikan thariqah shalat, karena shalat itu mi'rajnya orang mukmin …dan merupakan ajang mujahadah secara langsung tanpa melalui perantara siapa saja … kita berhubungan dengan Allah sendiri-sendiri walaupun kita shalat berjamaah, … inna shalati wanusuki wamah ya ya wa mamati lillahirabbil `alamin …
Saya setuju dengan ilmu tasawuf, … karena tasawuf merupakan jalan rohani yang penting di amalkan … dan tasawuf bukan ajaran baru, akan tetapi tasawuf merupakan kumpulan amalan-amalan sunnah yang ditekuni sampai menghasilkan mukasyafah atau tersingkapnya firman-firman Allah Swt.
Dengan demikian, kalau anda shalat, berarti thariqat kita sama …mursyidnya adalah Allah, ... karena Dia-lah yang menunjukkan jalan rohani (Ar Rasyid … ihdinash shiratal mustaqiem …shirathalladzina an'amta `alaihim ghairil maghdhubi `alaihi waladhdholin
Saya tidak bermaksud mengatakan thariqah-thariqah itu salah, …akan tetapi saya hanya ingin lebih memperhatikan shalat, karena shalat merupakan jalan yang terbaik dan mudah ketimbang jalan yang lainnya …. Hanya saja kita kurang serius dan menyadari, bahwa kita sebenarnya sedang bertemu dengan Allah dalam shalat ….
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu' yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka menemui Tuhannya, dan bahwa mereka kembali kepada-Nya ( Al Baqarah :45-46)
Begitulah pendapat saya mengenai thariqah, sekali lagi saya sangat setuju dengan thariqah yang mu'tabarah sesuai dengan sunnah nabi.
Directions:
Abu Sangkan
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran ( Al Baqarah: 186)
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat dari pada urat lehernya (Al Qaaf:16)
Pada ayat yang pertama, Allah menyatakan dirinya " dekat", sedangkan pada ayat kedua terdapat isim tafdhil ... untuk menjelaskan lebih dari itu ... yaitu "lebih dekat", artinya Tuhan "berada" setelah anda mengetahui hakikat diri, siapa diri ini sebenarnya, yang mana diri ini … dst. Bagaimana kita akan tahu tempat Allah, sedangkan diri kita saja belum faham … man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu … barang siapa tahu akan dirinya maka pasti akan tahu Tuhannya".
Kalimat "Aqrabu min hablil warid" … memberikan pengertian bahwa Allah ada diatas hakikat diri manusia bukan didalam hati manusia, juga bukan didalam jiwa manusia. Dia ada didalam dan diluar sekaligus.
Dia meliputi segala sesuatu (Al Fushilat: 54)
Jadi untuk memandang Allah atau menyebut namanya jangan keliru melihat kepada bathin manusia yang seolah-olah Allah bersemayam didalam rongga dada manusia … Akan tetapi lebih dari itu….
Pertanyaan anda mengenai wanahnu aqrabu ilaihi min hablil warid, sebenarnya sudah saya bahas dengan gamblang dan luas ... dilihat dari segi bahasa maupun filsafatnya, saya akan kesulitan membahas ini jika hanya sepotong-sepotong, atau dengan kalimat yang sangat singkat… saya takut menjadi fitnah ... Jika anda serius tolong anda ulangi lagi membaca artikel yang telah saya posting di forum dzikrullah pada bab Membuka Hijab, disana dijelaskan secara terbuka dan tidak ada yang dirahasiakan, … disitu dibahas masalah pertanyaan, dimana Allah? Seperti apa dzat Allah itu ? Bagaimana kita melihat Allah ? …dst
Kalau masih ada kesulitan berkaitan dengan itu semua, Insya Allah saya bersedia menjelaskan kembali ….
Mengenai thariqah … sah-sah saja, asal tidak menyimpang dari ketentuan Alqur'an dan Al hadist, saya setuju. Yang saya tidak setuju, jika mengatakan yang tidak ikut thariqat tertentu tidak diterima Allah amalnya, karena persoalan sanad (silsilah) … Bagaimana jika kita bersandar kepada sumber Alqur'an yang dijamin kebenarannya ?
Mengenai mursyid, ... selama anda tidak menganggap beliau sebagai penghubung roh anda atau wasilah menuju Allah, … boleh saja. Jadikanlah beliau sebagai panutan ... bukan kultus, … sebab bisa-bisa menjadi syirk, jika harus membayangkan sang guru (mursyid) saat hendak berdziklir kepada Allah. Hilangkan, atau nafikan siapa saja selain Allah.
… Laa ilaha illallah Muhammadar Rasulullah …
Rasulullah hanya sebagai abdi Tuhan, dan sebagai pemberi peringatan, … dan Rasulullah tidak mampu membuka hidayah pamannya sendiri. Nabi Nuh tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya yang kafir.
innaka latahdi man ahbabta ….sesungguhnya kamu tidak akan bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai sekalipun (Al Qashas: 56), yang kita bisa hanyalah mendo'akan, bukan membuka jalan menuju Allah
Ihdinash shiraathal mustaqiem … tunjukkan Kami jalan yang lurus … mintalah petunjuk atau hidayah langsung kepada Allah, … seperti hendak shalat, … shalat merupakan thariqah yang sempurna, maka lakukanlah shalat dengan sungguh-sungguh maka anda akan menemui Tuhan dengan selamat … tidak ada keraguan atas thariqah yang satu ini, ... dan diterima diseluruh kalangan aliran Islam … akan tetapi shalat tidak akan mendapat manfaat apa-apa, jika didalam melakukannya tidak mengerti ilmunya ... bukan asal shalat …
Saya justru ingin melestarikan thariqah shalat, karena shalat itu mi'rajnya orang mukmin …dan merupakan ajang mujahadah secara langsung tanpa melalui perantara siapa saja … kita berhubungan dengan Allah sendiri-sendiri walaupun kita shalat berjamaah, … inna shalati wanusuki wamah ya ya wa mamati lillahirabbil `alamin …
Saya setuju dengan ilmu tasawuf, … karena tasawuf merupakan jalan rohani yang penting di amalkan … dan tasawuf bukan ajaran baru, akan tetapi tasawuf merupakan kumpulan amalan-amalan sunnah yang ditekuni sampai menghasilkan mukasyafah atau tersingkapnya firman-firman Allah Swt.
Dengan demikian, kalau anda shalat, berarti thariqat kita sama …mursyidnya adalah Allah, ... karena Dia-lah yang menunjukkan jalan rohani (Ar Rasyid … ihdinash shiratal mustaqiem …shirathalladzina an'amta `alaihim ghairil maghdhubi `alaihi waladhdholin
Saya tidak bermaksud mengatakan thariqah-thariqah itu salah, …akan tetapi saya hanya ingin lebih memperhatikan shalat, karena shalat merupakan jalan yang terbaik dan mudah ketimbang jalan yang lainnya …. Hanya saja kita kurang serius dan menyadari, bahwa kita sebenarnya sedang bertemu dengan Allah dalam shalat ….
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu' yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka menemui Tuhannya, dan bahwa mereka kembali kepada-Nya ( Al Baqarah :45-46)
Begitulah pendapat saya mengenai thariqah, sekali lagi saya sangat setuju dengan thariqah yang mu'tabarah sesuai dengan sunnah nabi.
Directions:
Abu Sangkan
Label:
ALLAH,
DEKAT,
HIDAYAH,
ROSULLULAH
Allah meliputi segala sesuatu
Ingredients:
"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka, ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu." (Al Fushilat:54 )
Saya harus berhati-hati menterjemahkan ayat ini, karena diperlukan ada ayat pendukung yang menyatakan kalimat DIA MELIPUTI SEGALA SESUATU … Karena didalam tafsir-tafsir besar, seperti Fi Dhzilalil Qur'an, Jalalain, Shafwatut Tafaasir Al Munir, dan Al Qur'anul Karim terjemahan departemen Agama , `alaa innahu bikulli syaiin muhiith' … bahwa sesungguhnya DIA maha meliputi segala sesuatu ... ditafsirkan bahwa yang meliputi segala sesuatu itu adalah ilmu-Nya, … kekuasaan-Nya, … atau kekuatan-Nya (energi-Nya) dll. Kesimpulan dari semua tafsir-tafsir yang ada bahwa yang meliputi segala sesuatu adalah sifat-sifat-Nya, … bukan DIA (dzat), ... padahal sifat-sifat itu bergantung kepada Dzat.
Kalau dilihat dari sejarah perkembangan ilmu-ilmu islam ... mufassirin muncul saat bersamaan adanya konflik aliran mazhab … diantaranya empat aliran popular pada masa itu yaitu, mutakallimun, para filosof, al ta'lim dan para sufi. Dua yang pertama dalam mencari kebenaran menggunakan akal, walaupun antara keduanya terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal itu. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam, dan yang terakhir menggunakan Al dzawq (intuisi/rasa)
Faham tasawuf berkembang dengan terkenalnya prinsip hulul atau ittihad (bersatunya hamba dengan tuhan). Hal ini mengakibatkan para mufassir tidak berani terang-terangan menterjemahkan ayat ini dengan jelas, ... karena konflik itu hingga kini masih berlanjut. Sehingga ayat ini menjadi musytarak (banyak arti) padahal kata DIA, tidak perlu ditafsirkan lagi dengan diluar diri-Nya. yang akibatnya terlalu rancu diterjemahkan dengan arti sifat-Nya … karena takut dituduh termasuk memiliki faham yang sama dengan Al Hallaj !! yaitu faham, Allah bersatu dengan makhluknya. Akan tetapi mereka akan menemukan kesulitan jika hal ini tidak diterjemahkan dengan apa adanya, …sebab para mufassir lainnya juga ikut-ikutan menterjemahkan DIA dengan sifatnya yang meliputi segala sesuatu, ... yaitu sifat ilmu, kuasa, kudrat, iradat-Nya
Padahal ayat ini menjelaskan DIA nya yang meliputi segala sesuatu yaitu Dzat-nya atau diri-Nya yang meliputi segala sesuatu, …ialah ALLAH yang meliputi segala sesuatu, ... bukan sifat-Nya, ... karena sifat itu sangat bergantung kepada DZAT, … seperti bergantungnya rasa manis kepada dzat (wujud) madu … manis itu tidak bisa berdiri sendiri jika tidak ada dzat yang disifati, sehingga saya lebih berani menjelaskan kesempurnaan-Nya (bikamalatihi, sifat ,asma dzat, dan af'al) yaitu Dzat Allah yang meliputi segala sesuatu sesuai dengan ayat-ayat berikut ini:
"….wallahu muhithun bil kaafirin …artinya : Dan Allah meliputi orang-
orang yang kafir" (Al Baqarah:19)
"katakanlah : Dia-lah Allah yang maha Esa "
"Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu" ( Al
Ikhlash: 1-2)
Baiklah saya nukilkan apa yang tertera di dalam kitab suci Al qur'an, dimana setiap yang disebut wahyu itu bukanlah hanya wahyu tasysi', atau wahyu syari'at, tetapi juga wahyu ilham. Yaitu Allah memberikan perintah-perintah atau instruksi-instruksi kepada makhluqnya.
"Dan tuhanmu mewahyukan kepada lebah" ( An nahl:18)
"Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa" ( Al Qashas:7)
"Da ia mewahyukan kepada tiap-tiap langit itu urusan masing-masing" ( Al Fushilat:12)
Kata wahyu yang tertera dalam ayat-ayat diatas , secara tegas menyatakan bahwa Allah tidak menutup-nutupi kepada kita, bahwa bukan siapa-siapa yang membisikkan dan menggerakkan tubuh manusia, yang oleh pakar disebut alam kecil (mikrokosmos) atau gambaran mini tentang alam semesta, dan DIA lah yang bersembunyi (Al bathin) dibalik kasat mata manusia. DIA yang menggerakkan bumi, langit, bintang-bintang, matahari, ... dan mengajarkan lebah dan menuntunnya dalam membuat kontruksi bangunan rumahnya yang indah. Masing-masing dibekali wahyu dari Tuhannya untuk melaksanakan tugas-Nya tanpa membantah, sehingga jalan mereka tidak berbenturan dengan fitrah Allah yang Maha suci
Kemudian dia mengarah kepada langit yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya dan pada bumi ; "silahkan kalian mengikuti perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa . jawab mereka : kami mengikuti dengan suka hati" ( Al Fushilat: 11)
"Maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari dan mewahyukan perintah-Nya pada tiap-tiap langit itu dan kami hiasi langit dunia dan pelita-pelita dan kami memeliharanya, demikian lah ketentuan yang maha perkasa lagi maha mengetahui" (Al Fushilat:12)
Allah mengajarkan manusia apa-apa yang belum diketahuinya. Allah lah yang menuntun manusia, memberikan inspirasi, ilham dan wahyu. Tubuhnya patuh mengikuti perintah Tuhannya tidak terkecuali orang kafir. Sunnah-sunnah Allah berlaku kepada alam semesta baik yang mikro maupun yang makro .
Teori mekanika tentang kehidupan gagal menerangkan fakta-fakta biologi … Kesulitan yang nyata pada saat ini adalah anggapan yang keliru karena penggunaan bahasa, seperti kita mengatakan bahwa matahari terbit dan terbenam setiap hari, ... padahal sebenarnya matahari tidak terbit maupun tenggelam. ... juga kita selama lebih dari 2000 tahun telah mengatakan bahwa kotoran manusia itu menjijikkan, ... dan kita telah mengatakan bahwa materi sebagai wujud mati dan jiwa sebagai sesuatu yang terpisah dan memiliki eksistensi tersendiri yang abadi. Namun dikatakan bahwa setiap unsur dasar
materi itu kekal … tidak ! sebenarnya tidaklah demikian! Hal ini kita ketahui dari sesuatu yang dapat berakhir itu ada. Prinsip kekekalan meteri dan daya yang lebih tepat disebut sebagai prinsip kekekalan energi, merupakan fakta terbaik yang tidak bisa dipungkiri dari pengalaman manusia. dan untuk itu kita pantas menghargai ilmu pengetahuan. Energi merupakan entitas terakhir yang kita jumpai dimana saja. kita tidak mampu mendapatkan yang lebih dari itu. Bentuk-bentuk energi ini ialah, panas, cahaya, daya maknetis listrik, atom (sebagai energi yang masih tertidur)
Kami telah mencoba memperhatikan bahwa akal sendiri merupakan gerak, akal dan materi bukan merupakan dua realitas yang terpisah, melainkan sebagai dua realitas yang sama yang sedikit banyak bergerak. Prinsip hidup eksis dimana-mana dan segala sesuatu eksis didalamnya. Tidak ada yang dapat berwujud tanpa prinsip hidup ini. Didalam diri manusia ada satu kombinasi gerak, oleh karenanya kami menyebut ini sebagai materi yang berakal atau akal yang bermateri sungguh sepantasnyalah kita menciptakan sebuah istilah yang baru bagi manifestasi realitas dalam diri benda-benda yang hidup. Benda-benda itu sebenarnya diam diatas gerak …dan gerak itu diam diatas prinsip hidup … hidup itu ada pada yang wujud ... wujud itu ada pada dzat …
Untuk memudahkan uraian diatas, ... anda perhatikan dan buatlah sebuah perumpamaan ... Ambillah sebuah benda mati (batu, misalnya) coba anda gerakkan ke kiri dan kekanan … perhatikan dengan seksama peristiwa itu …batu bergerak kekiri dan kekanan mengikuti kemauan anda, … yaitu kehendak yang menyelimuti batu itu … Kehendak itu timbul dari wujud anda yang memiliki kuasa, … ketetapan … batu itu mengikuti perintah anda … tunduk patuh terpaksa maupun sukarela … batu itu berislam (berserah) terhadap anda dan kenyataan sebenarnya adalah gerakan anda bukanlah gerakan batu ... karena batu itu bergantung kepada gerakan yang timbul dari gerakan kemauan anda !!!
Batu itu betul-betul tidak memiliki kuasa sedikitpun, … sehingga jika anda mengerti akan asal gerakan itu maka anda akan berkata … akulah yang menggerakkan batu itu … akulah yang memelihara batu itu … akulah yang kuasa atas batu itu … dan akulah yang meliputi batu itu ... ilmu iradat ( kuasa ) … iradat (kemauan) … namun batu bukanlah aku !
Dalam gerakan batu itu terdapat kemauan …kekuasaan …kekuatan … ide (akal) …dan gerakan diri anda sendiri, sehingga anda menyatakan bahwa batu bergerak atas kemauan-ku ... kuasa-ku …dan gerakan itu adalah gerakanku, ... dan gerakan itu lebih tampak dari batu itu sendiri, karena batu diliputi oleh gerak-ku !! Bagi orang awam melihat peristiwa gerakan batu itu … ia menganggap yang bergerak adalah sebuah BATU, ... karena dia tidak melihat bahwa batu itu diam diatas GERAK. Begitu juga atom, electron, bergerak diatas gerakan yang Maha kekal ... maha hidup ... maha kuasa ... maha pintar ... maha tahu …dan mereka ada atas ADA nya DZAT !! Jika anda mengerti akan kejadian ini ... alangkah indahnya GERAK yang memiliki ide-ide besar ... rencana-rencana unik … dan ternyata DIA lebih tampak dari pada alam ini ….
Mudah-mudahan anda memahami ilustrasi diatas, … karena agak sulit saya menggambarkan dengan bentuk tulisan ... atas jawaban ini. Maka tidak heran jika para sufi kesulitan mengungkapkan dengan bentuk bahasa lugas kecuali hanya berupa syair-syair yang juga sulit difahami oleh orang awam
Directions:
Abu Sangkan
"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka, ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu." (Al Fushilat:54 )
Saya harus berhati-hati menterjemahkan ayat ini, karena diperlukan ada ayat pendukung yang menyatakan kalimat DIA MELIPUTI SEGALA SESUATU … Karena didalam tafsir-tafsir besar, seperti Fi Dhzilalil Qur'an, Jalalain, Shafwatut Tafaasir Al Munir, dan Al Qur'anul Karim terjemahan departemen Agama , `alaa innahu bikulli syaiin muhiith' … bahwa sesungguhnya DIA maha meliputi segala sesuatu ... ditafsirkan bahwa yang meliputi segala sesuatu itu adalah ilmu-Nya, … kekuasaan-Nya, … atau kekuatan-Nya (energi-Nya) dll. Kesimpulan dari semua tafsir-tafsir yang ada bahwa yang meliputi segala sesuatu adalah sifat-sifat-Nya, … bukan DIA (dzat), ... padahal sifat-sifat itu bergantung kepada Dzat.
Kalau dilihat dari sejarah perkembangan ilmu-ilmu islam ... mufassirin muncul saat bersamaan adanya konflik aliran mazhab … diantaranya empat aliran popular pada masa itu yaitu, mutakallimun, para filosof, al ta'lim dan para sufi. Dua yang pertama dalam mencari kebenaran menggunakan akal, walaupun antara keduanya terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal itu. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam, dan yang terakhir menggunakan Al dzawq (intuisi/rasa)
Faham tasawuf berkembang dengan terkenalnya prinsip hulul atau ittihad (bersatunya hamba dengan tuhan). Hal ini mengakibatkan para mufassir tidak berani terang-terangan menterjemahkan ayat ini dengan jelas, ... karena konflik itu hingga kini masih berlanjut. Sehingga ayat ini menjadi musytarak (banyak arti) padahal kata DIA, tidak perlu ditafsirkan lagi dengan diluar diri-Nya. yang akibatnya terlalu rancu diterjemahkan dengan arti sifat-Nya … karena takut dituduh termasuk memiliki faham yang sama dengan Al Hallaj !! yaitu faham, Allah bersatu dengan makhluknya. Akan tetapi mereka akan menemukan kesulitan jika hal ini tidak diterjemahkan dengan apa adanya, …sebab para mufassir lainnya juga ikut-ikutan menterjemahkan DIA dengan sifatnya yang meliputi segala sesuatu, ... yaitu sifat ilmu, kuasa, kudrat, iradat-Nya
Padahal ayat ini menjelaskan DIA nya yang meliputi segala sesuatu yaitu Dzat-nya atau diri-Nya yang meliputi segala sesuatu, …ialah ALLAH yang meliputi segala sesuatu, ... bukan sifat-Nya, ... karena sifat itu sangat bergantung kepada DZAT, … seperti bergantungnya rasa manis kepada dzat (wujud) madu … manis itu tidak bisa berdiri sendiri jika tidak ada dzat yang disifati, sehingga saya lebih berani menjelaskan kesempurnaan-Nya (bikamalatihi, sifat ,asma dzat, dan af'al) yaitu Dzat Allah yang meliputi segala sesuatu sesuai dengan ayat-ayat berikut ini:
"….wallahu muhithun bil kaafirin …artinya : Dan Allah meliputi orang-
orang yang kafir" (Al Baqarah:19)
"katakanlah : Dia-lah Allah yang maha Esa "
"Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu" ( Al
Ikhlash: 1-2)
Baiklah saya nukilkan apa yang tertera di dalam kitab suci Al qur'an, dimana setiap yang disebut wahyu itu bukanlah hanya wahyu tasysi', atau wahyu syari'at, tetapi juga wahyu ilham. Yaitu Allah memberikan perintah-perintah atau instruksi-instruksi kepada makhluqnya.
"Dan tuhanmu mewahyukan kepada lebah" ( An nahl:18)
"Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa" ( Al Qashas:7)
"Da ia mewahyukan kepada tiap-tiap langit itu urusan masing-masing" ( Al Fushilat:12)
Kata wahyu yang tertera dalam ayat-ayat diatas , secara tegas menyatakan bahwa Allah tidak menutup-nutupi kepada kita, bahwa bukan siapa-siapa yang membisikkan dan menggerakkan tubuh manusia, yang oleh pakar disebut alam kecil (mikrokosmos) atau gambaran mini tentang alam semesta, dan DIA lah yang bersembunyi (Al bathin) dibalik kasat mata manusia. DIA yang menggerakkan bumi, langit, bintang-bintang, matahari, ... dan mengajarkan lebah dan menuntunnya dalam membuat kontruksi bangunan rumahnya yang indah. Masing-masing dibekali wahyu dari Tuhannya untuk melaksanakan tugas-Nya tanpa membantah, sehingga jalan mereka tidak berbenturan dengan fitrah Allah yang Maha suci
Kemudian dia mengarah kepada langit yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya dan pada bumi ; "silahkan kalian mengikuti perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa . jawab mereka : kami mengikuti dengan suka hati" ( Al Fushilat: 11)
"Maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari dan mewahyukan perintah-Nya pada tiap-tiap langit itu dan kami hiasi langit dunia dan pelita-pelita dan kami memeliharanya, demikian lah ketentuan yang maha perkasa lagi maha mengetahui" (Al Fushilat:12)
Allah mengajarkan manusia apa-apa yang belum diketahuinya. Allah lah yang menuntun manusia, memberikan inspirasi, ilham dan wahyu. Tubuhnya patuh mengikuti perintah Tuhannya tidak terkecuali orang kafir. Sunnah-sunnah Allah berlaku kepada alam semesta baik yang mikro maupun yang makro .
Teori mekanika tentang kehidupan gagal menerangkan fakta-fakta biologi … Kesulitan yang nyata pada saat ini adalah anggapan yang keliru karena penggunaan bahasa, seperti kita mengatakan bahwa matahari terbit dan terbenam setiap hari, ... padahal sebenarnya matahari tidak terbit maupun tenggelam. ... juga kita selama lebih dari 2000 tahun telah mengatakan bahwa kotoran manusia itu menjijikkan, ... dan kita telah mengatakan bahwa materi sebagai wujud mati dan jiwa sebagai sesuatu yang terpisah dan memiliki eksistensi tersendiri yang abadi. Namun dikatakan bahwa setiap unsur dasar
materi itu kekal … tidak ! sebenarnya tidaklah demikian! Hal ini kita ketahui dari sesuatu yang dapat berakhir itu ada. Prinsip kekekalan meteri dan daya yang lebih tepat disebut sebagai prinsip kekekalan energi, merupakan fakta terbaik yang tidak bisa dipungkiri dari pengalaman manusia. dan untuk itu kita pantas menghargai ilmu pengetahuan. Energi merupakan entitas terakhir yang kita jumpai dimana saja. kita tidak mampu mendapatkan yang lebih dari itu. Bentuk-bentuk energi ini ialah, panas, cahaya, daya maknetis listrik, atom (sebagai energi yang masih tertidur)
Kami telah mencoba memperhatikan bahwa akal sendiri merupakan gerak, akal dan materi bukan merupakan dua realitas yang terpisah, melainkan sebagai dua realitas yang sama yang sedikit banyak bergerak. Prinsip hidup eksis dimana-mana dan segala sesuatu eksis didalamnya. Tidak ada yang dapat berwujud tanpa prinsip hidup ini. Didalam diri manusia ada satu kombinasi gerak, oleh karenanya kami menyebut ini sebagai materi yang berakal atau akal yang bermateri sungguh sepantasnyalah kita menciptakan sebuah istilah yang baru bagi manifestasi realitas dalam diri benda-benda yang hidup. Benda-benda itu sebenarnya diam diatas gerak …dan gerak itu diam diatas prinsip hidup … hidup itu ada pada yang wujud ... wujud itu ada pada dzat …
Untuk memudahkan uraian diatas, ... anda perhatikan dan buatlah sebuah perumpamaan ... Ambillah sebuah benda mati (batu, misalnya) coba anda gerakkan ke kiri dan kekanan … perhatikan dengan seksama peristiwa itu …batu bergerak kekiri dan kekanan mengikuti kemauan anda, … yaitu kehendak yang menyelimuti batu itu … Kehendak itu timbul dari wujud anda yang memiliki kuasa, … ketetapan … batu itu mengikuti perintah anda … tunduk patuh terpaksa maupun sukarela … batu itu berislam (berserah) terhadap anda dan kenyataan sebenarnya adalah gerakan anda bukanlah gerakan batu ... karena batu itu bergantung kepada gerakan yang timbul dari gerakan kemauan anda !!!
Batu itu betul-betul tidak memiliki kuasa sedikitpun, … sehingga jika anda mengerti akan asal gerakan itu maka anda akan berkata … akulah yang menggerakkan batu itu … akulah yang memelihara batu itu … akulah yang kuasa atas batu itu … dan akulah yang meliputi batu itu ... ilmu iradat ( kuasa ) … iradat (kemauan) … namun batu bukanlah aku !
Dalam gerakan batu itu terdapat kemauan …kekuasaan …kekuatan … ide (akal) …dan gerakan diri anda sendiri, sehingga anda menyatakan bahwa batu bergerak atas kemauan-ku ... kuasa-ku …dan gerakan itu adalah gerakanku, ... dan gerakan itu lebih tampak dari batu itu sendiri, karena batu diliputi oleh gerak-ku !! Bagi orang awam melihat peristiwa gerakan batu itu … ia menganggap yang bergerak adalah sebuah BATU, ... karena dia tidak melihat bahwa batu itu diam diatas GERAK. Begitu juga atom, electron, bergerak diatas gerakan yang Maha kekal ... maha hidup ... maha kuasa ... maha pintar ... maha tahu …dan mereka ada atas ADA nya DZAT !! Jika anda mengerti akan kejadian ini ... alangkah indahnya GERAK yang memiliki ide-ide besar ... rencana-rencana unik … dan ternyata DIA lebih tampak dari pada alam ini ….
Mudah-mudahan anda memahami ilustrasi diatas, … karena agak sulit saya menggambarkan dengan bentuk tulisan ... atas jawaban ini. Maka tidak heran jika para sufi kesulitan mengungkapkan dengan bentuk bahasa lugas kecuali hanya berupa syair-syair yang juga sulit difahami oleh orang awam
Directions:
Abu Sangkan
KAFIR atau DZIKIR, The Ultimate Choices
Ingredients:
Selama ini mungkin kita sudah sangat kenyang dengan doktrin dalam berbagai agama tentang kata-kata KAFIR ini. Dimana cap kafir ini sudah berubah menjadi sebuah ungkapan yang sangat MENAKUTKAN, MENJIJIKKAN, dan MENGERIKAN. Saat cap kafir ini sudah melekat pada diri seseorang, maka sepertinya orang itu sudah kita anggap sebagai seseorang yang punya kesalahan yang sangat fatal dan derajat yang sangat rendah. Dengan mencap orang lain kafir, maka sepertinya ada diantara kita yang merasa bahwa darah orang kafir itu HALAL untuk ditumpahkan. Sehingga dalam sejarah peradaban manusia, kita sudah sangat hafal dengan berbagai peperangan demi peperangan yang di jalani oleh kakek moyang kita.
Dengan cap kafir terhadap seseorang, maka kebanyakan dari kita akan melihat orang yang di cap kafir itu dengan pandangan penuh kebencian, penuh kecurigaan, dan bahkan penuh kemarahan. Karena kita takut jangan-jangan orang yang di cap kafir itu akan membawa kita juga untuk menjadi kafir. Padahal status kafir ini dalam pelajaran-pelajaran agama apa pun akan diganjar dengan neraka. Sebuah ganjaran yang membuat kita GACAR (mencret) karena ketakutan.
Padahal kalau kita kupas agak sekupas dua kupas, maka ungkapan KAFIR ini hanyalah sebuah ungkapan dengan pengertian yang sangat sederhana saja. Bahwa seseorang yang TIDAK MENYADARI akan SESUATU, maka orang itu dikatakan sedang KAFIR (ter-cover), tertutup kesadarannya terhadap SESUATU tersebut. Hanya sesederhana itu saja kok pengertian tentang KAFIR. Kitanya saja yang mau-maunya di distorsikan pemahaman kita seperti sekarang ini, sehingga jadilah kita seperti saat ini. Umat yang hidup penuh dengan konflik yang dipelihara turun-temurun hanya karena sebuah kata KAFIR. Masalah bagaimana pedih dan kerasnya hukuman Tuhan terhadap orang-orang yang kafir kepada Allah adalah masalah lain lagi. Begitulah salah satu cara Allah dan Rasulullah memotivasi umat manusia agar mau ingat dan sadar kepada Allah, yaitu dengan menakut-nakuti umat manusia dengan hukuman yang sangat pedih dan di neraka pula tempatnya.
Disamping itu, saat saya tidak mampu membuka kesadaran saya terhadap ketuhanan YESUS seperti yang diyakini oleh umat Nasrani, maka umat Nasrani akan menganggap saya sebagai seorang kafir terhadap Yesus, ya ndak masalah. Begitu juga saat saya tidak mampu membuka kesadaran saya tentang Allah, maka saat itu saya akan dilabeli oleh Allah sendiri sebagai seorang yang kafir terhadap Allah. Walaupun ilmu pengetahuan saya tentang Allah barangkali sudah sangat lengkap, akan tetapi jika pada saat yang sama saya tidak sedikit pun merasakan IHSAN terhadap Allah, maka boleh jadi saat itu saya sedang kafir kepada Allah. Ya…, karena saat itu saya tidak sedikit pun sadar akan keberadaan Allah. Ungkapan seperti ini yang kita tidak siap untuk menerimanya.
Untuk membuktikan tentang tidak ihsannya kita ini sangat gampang sekali kok. Saat di keseharian kita, mampu nggak kita untuk merasa “SUNGKAN” untuk berbuat TIDAK BAIK, atau mampu nggak kita untuk merasakan “TUNTUNAN” Tuhan atas setiap tindakan kita ke arah yang BAIK-BAIK. Kalau yang ada adalah rasa TIDAK SUNGKAN kita untuk berbuat tidak baik, dan rasa TIDAK DITUNTUN ke arah yang BAIK, maka saat itu juga kita bolehlah untuk SANGAT khawatir, jangan-jangan Tuhan memang sedang mencampakkan dan membiarkan kita (istidraj).
Tapi jangan khawatir. Saat kita digeletakkan oleh Allah ini (dalam posisi istidraj), sebenarnya kita tetap dan tengah dituntun oleh ALLAH juga. Namun tuntunan Allah itu ke arah yang TIDAK BAIK. Ya…, arahnya saja yang salah. Betapa tidak. Untuk berbuat jahat dan tidak baik itu sebenarnya kita butuh daya, tenaga, dan keberanian yang sangat besar. Untuk berbohong saja, misalnya, kita rasanya harus mengeluarkan tenaga ekstra. Apalagi untuk mencuri, berzina, korupsi, dan berbagai perbuatan tidak baik lainnya. Sungguh semuanya itu butuh daya yang sangat besar. Apalagi kalau semua perilaku buruk itu melekat pada diri kita sendiri. Wuiih…, dahsyatnya power yang kita butuhkan.
Makanya dalam keseharian kita, dalam shalat kita, kita selalu minta dituntun Allah ke jalan yang LURUS (Ihdinash shiraathal mustaqiim). Tapi itulah kita manusia ini, kita hampir sebagian besar tertahan dari tuntunan Tuhan ke arah yang lurus (baik) ini. Dan anehnya lagi tertahannya kita dari tuntunan Tuhan ke arah yang baik itu karena kita memang tengah DIBUAT LUPA atau DIJADIKAN TIDAK TAHU oleh ALLAH dalam memanfaatkan SWITCH (tombol) penentu arah saat kita berada dipersimpangan jalan antara yang baik dan yang buruk itu. Nah…, supaya tidak dibuat lupa oleh Allah, maka carilah switch itu sampai dapat, dan kita nanti tinggal menikmati tuntunan ke arah yang baik.
Kemudian, dalam pelajaran tentang TUHAN pun, kita selama ini sudah sangat jauh terdistorsi dari suatu pengertian yang sebenarnya sangat sederhana. Dengan pengetahuan yang sampai ke otak kita, dari berbagai sumber, seakan-akan kita umat manusia ini sedang sibuk mencari diri sendiri dan juga mencari Tuhan. Dengan pengajaran tersebut, seakan-akan kita saat ini tengah berada dalam suasana KEHILANGAN DIRI kita sendiri dan KEHILANGAN TUHAN pula, sehingga harus kita temukan lagi. Maka kemudian lahirlah berbagai konsep tentang usaha umat manusia dalam mencari dan menemukan dirinya sendiri maupun Tuhan. Dan anehnya, SEMAKIN RUMIT konsep itu, maka orang umumnya menganggapnya sebagai sebuah konsep yang LEBIH BENAR.
Dalam menghadapi kerumitan konsep itu, umumnya umat manusia terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang yang mau tidak mau terpaksa harus menerima kerumitan itu sebagai sebuah sikap hidup. Karena kalau tidak, maka kelompok ini sangat ketakutan dengan cap kafir dengan ganjaran yang sangat mengerikan seperti yang sudah dijelaskan di atas : NERAKA. Kelompok kedua adalah gerombolan orang yang bersikap MASA BODOH terhadap konsep yang rumit-rumit itu, saking rumitnya. Karena dengan tidak memakai konsep yang rumit itu hidup mereka toh nggak menderita-menderita amat. Enjoy aja kata sebuah iklan…!.
Mungkinkah ada konsep yang SANGAT SEDERHANA agar kita bisa DISADARKAN tentang diri kita dan tentang Tuhan…?. Sehingga kita tidak sanggup lagi untuk bersikap masa bodoh, seperti tidak sanggupnya kita untuk merasa terpaksa dalam menjalani konsep demi konsep yang tadinya meletihkan kita.
Berbagai Cover…
Dulu kesadaran saya tertutup, kafir, atau berhenti tentang Tuhan yang sebenarnya dan yang seharusnya. Karena saat dulu itu konsep (ilmu pengetahuan) yang masuk ke otak saya tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan itu bersemayam di Arsy yang berada di langit ke tujuh (sidratul muntaha) yang entah dimana. Dan untuk bertemu dengan Tuhan, maka kita harus melewati alam-alam akhirat dulu, karena kita hanya bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat. Dan itu pun ketemunya NANTI. Hanya Muhammad Rasulullah sajalah yang pernah ketemu Tuhan saat Beliau masih hidup. Dan pertemuan itu adalah di sidratul muntaha saat Beliau “Isra’ dan Mi’raj”. Sedangkan buat kita-kita umat Beliau ini, pertemuan dengan Tuhan itu nantinya adalah di akhirat. Ditambah lagi dengan pemahaman tentang Tuhan yang beredar umum di tengah-tengah masyarakat, bahwa Tuhan bersemayam yaitu di Arasy-Nya.
Sampai di pemahaman seperti ini sebenarnya tidak ada masalah sama sekali. Karena dalam banyak hadits Rasulullah memang memberikan wejangan Beliau seperti itu kepada sahabat-sahabat saat itu. Juga dalam Al Qur’an sendiri dinyatakan bahwa Allah “tsummastawa ‘alal arsy yudabbirul amra”, Dia bersemayam diatas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan”.
Akan tetapi sayangnya tidak jarang diantara kita, kalau tidak mau dikatakan mayoritas umat Islam, yang terjebak dalam memahami makna bersemayam itu seperti bersemayamnya seorang raja di singasananya. Dan singasana Tuhan itupun berada di langit ke tujuh, bahwa singasana-Nya ada di Sidratul Muntaha, bahwa Tuhan hanya bisa ditemui di akhirat dan dan itupun nanti pula, maka secara tidak sadar sebenarnya kita telah mempersepsikan menghadap Tuhan itu sebagai orang awam berhadapan dengan sosok raja diraja di langit. Sehingga Tuhan seakan-akan sosok yang sangat jauh dengan kita. Ya…, seperti dewa gitu loh…!. Apalagi dengan adanya hadits yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam…, dst.
Makanya, karena mengharap pertemuan dengan Tuhan di akhirat itu, segala ibadah dan amalan saya lakukan dengan harapan untuk dapat pahala sehingga nanti bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat dan dimasukkan-Nya kedalam syurga-Nya. Enak nggak enak, maka ibadah dan amalan itu harus saya lakukan. Karena kalau tidak dilakukan, maka Tuhan akan marah kepada saya.
Akibatnya, kita lalu mencari-cari Tuhan dengan otak kita. Lalu tidak sedikit pula orang yang hanya sampai di kesadaran bahwa tidak mungkin orang bisa bertemu Tuhan di dunia ini. Kalau ada yang mengaku bertemu Tuhan, maka jangan-jangan itu hanya persepsi dirinya sendiri, atau Si ”AKU” yang berani-beraninya mengklaim, bahwa dirinya telah bertemu/ berjumpa.... dgn Allah..?. Dan berbagai ungkapan lainnya yang sangat rumit, seakan-akan kita sengaja memperumit diri sendiri tentang Tuhan. Sehingga lengkap sudah tertutupnya kesadaran kita terhadap eksistensi Tuhan. Kita jadi seperti terpisah dengan Tuhan. Kita tidak punya lagi kesadaran bahwa saat shalat dan berdo’a, kita sebenarnya SAAT ITU tengah menghadap dan menyembah Tuhan, berbicara dengan Tuhan, memuja Tuhan. Ya…, kita tidak bisa lepas dari Allah seperti tidak bisa lepasnya nafas, aliran darah, dan pergerakan alam semesta ini dari Allah. Dan ternyata, suasana ter-cover terhadap Allah seperti ini sangatlah tidak enak, sehingga kemudian saya lalu mencoba masuk ke dalam konsep yang lain lagi. Konsep tarekat dan tasawuf.
Selama beberapa tahun kemudian, saya berada dalam dunia tarekat dan tasawuf yang inti ajarannya adalah tentang bagaimana kita harus MEMBERSIHKAN HATI kita dulu agar hati itu nantinya bisa suci dan bersinar, sehingga hati itu bisa “melihat Tuhan”. Dan syarat mutlak untuk masuk ke wilayah tarekat ini adalah dengan menerima peran wujud lain sebagai wasilah kita untuk menyambungkan diri kita dengan Allah. Wasilah itu sambung menyambung dari satu orang mursyid termuda, lalu guru dari mursyid tersebut berantai ke guru-guru-guru-guru mursyid lainnya sampai ke Rasulullah dan baru ke Allah. Rantai sambungan itu disebut juga dengan rabithah guru, dan proses menghadapkan perhatian (wajah) kepada guru mursyid itu disebut juga dengan bertawajjuh. Kalau kita tidak ikut mengikatkan diri pada mursyid yang berada dalam dalam ‘rantai emas’ mursyid sebuah tarekat tertentu, maka kita akan berada di luar kelompok tersebut saat kiamat dan di hari akhir nanti dan tidak ditolong pula oleh Rasulullah, karena memang Rasulullah ditempatkan di dalam rantai emas mursyid tarekat tersebut pada tingkat pamuncak.
Selama kurun waktu bertarekat tersebut, maka berbagai praktek olah diri (tadzkiyatunnafs) yang sangat sulit harus saya jalani. Wirid dan afirmasi yang berulang-ulang dengan kalimat-kalimat thaiyyibah yang harus dilakukan sangatlah banyak. Untuk waktunya pun lebih lama wiridannya dari pada shalatnya sendiri. Tapi…, tetap saja bukan Tuhan yang ketemu. Malah yang muncul adalah sensasi alam demi alam dan fenomena-fenomena yang tadinya hanya bisa di baca dalam berbagai riwayat atau buku sufi terkenal. Mengasyikkan memang semua itu. Akan tetapi yang namanya TUNTUNAN Tuhan dan RASA SUNGKAN terhadap Tuhan nggak dapat-dapat juga saya pahami. Saya seperti asyik sendiri dengan berbagai atribut ketasawufan yang melelahkan itu, sehingga kemudian saya mencari lagi konsep lain tentang ketuhanan yang lebih sederhana dan bisa diterapkan dalam keseharian.
Kemudian saya lalu masuk ke dalam komunitas PATRAP yang di dalamnya saya diperkenalkan dengan konsep ketuhanan yang lebih simple. Bahwa Tuhan itu ternyata hanyalah Dzat Yang Sangat Sederhana akan tetapi Serba Maha. Dzat yang MAHA MELIPUTI segala sesuatu. Walaupun begitu, dalam kenyataannya konsep patrap yang sangat sederhana ini tidaklah terlalu mudah juga untuk diaplikasikan. Kalau kauro (ilmu pengetahuannya) mungkin bisa saya terima dengan sangat mudah. Bahkan pelatihan-pelatihannya juga bisa saya ikuti dengan tanpa kesulitan yang berarti. Tuntunan demi tuntunan dan rasa sungkan demi rasa sungkan, alhamdulillah bisa saya rasakan realitasnya.
Akan tetapi dalam perjalanannya, ada sesuatu yang saya rasakan sulit untuk saya dapatkan, yaitu untuk masuk kepada suasana KEARIFAN, suasana KERENDAHAN HATI. Ya…, bagaimana caranya agar saya bisa duduk di wilayah ini. Ini yang menjadi pertanyaan saya yang cukup panjang juga. Kenapa…??.
Karena di dalam patrap inilah saya mendapatkan sebuah cara berfikir yang sangat revolusioner sekali. Tidak salah memang kalau dikatakan bahwa virus pemikiran PATRAP ini telah menghancurkan berbagai file masa lalu saya yang sudah karatan di dalam otak saya selama ini. Ditambah lagi dengan tidak adanya konsep pengkelasan (grading) baik antara seorang guru dengan murid, maupun diantara sesama komunitas patrap itu sendiri. Egaliter sekali. Sehingga yang muncul kemudian adalah sebuah karakter baru dimana seorang murid mungkin tidak lagi menghormati guru, karena memang tidak ada konsep guru dan murid di dalamnya. Dalam bidang pemikiran pun, konsep spiritual, agama-agama, dan peradaban juga dikupas tuntas sampai “bugil”, sehingga nyaris saja orang patrap meremehkan pengajian-pengajian agama yang membahas hukum, syariah maupun laku spiritual lainnya.
Ternyata orang yang banyak ilmu, banyak tahu hukum, bahkan banyak pula kesaksian, kalau orang itu tidak bisa merangkainya dengan sikap RENDAH HATI dan ARIF, sangatlah berbahaya. Ilmu, hukum dan kesaksian itu bisa menjadi sebuah senjata baru yang sangat hebat untuk memuaskan kepentingan atau dorongan diri sendiri (hawa un nafs). Sungguh mengerikan sekali.
Lalu dalam sebuah pelatihan bersama Ustadz Abu Sangkan di ruang basement Masjid Baitul Ihsan (BI) seminggu sebelum bencana Tsunami melanda ACEH, saya dan beberapa orang teman yang lainnya merasakan suasana yang sangat berbeda yang belum pernah saya dapatkan sejak saya mulai ikutan patrap ini, apalagi pada praktek-praktek olah diri dan olah jiwa yang sebelumnya. Saya saat itu seperti di tarok di wilayah yang sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Wilayah yang seperti DI RUMAH sendiri. Wilayah yang sepertinya sudah sangat saya kenal lama sekali, akan tetapi yang sudah terlupakan sedemikian lama pula…!!!. YA…, selama ini wilayah ini seperti terlupakan, atau lebih tepatnya saya dibuat lupa tentang rumah saya ini oleh Allah sendiri. Wilayah rumah saya sendiri sebenarnya ...!.
Dari berbagai suasana tertutupnya kesadaran (KAFIR) terhadap Tuhan yang sungguh beragam penyebabnya, maka PASTILAH ada CARA untuk membuka TUTUP tersebut. Ya…, semacam SWITCH gitu loh. Karena nggak mungkin Allah menggeletakkan makhluk ciptaan-Nya dalam berbagai masalah tanpa adanya solusi untuk keluar dari masalah itu. Sungguh Allah ternyata memang sangatlah sempurna sebagai Sang Grand Designer Tunggal dalam segala hal. Untuk setiap MASALAH, apapun masalah itu, ternyata Allah juga telah menyiapkan SOLUSINYA pada saat yang BERSAMAAN. Seperti berpasang-pasangan gitu loh.
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yaa siin 36)
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Asy Syura 11)
Akan tetapi hampir sebagian besar dari kita tertutup pula untuk melihat solusi yang sudah ada itu untuk keluar dari problematika yang kita hadapi. Kita selalu saja cenderung lebih MUDAH untuk hanya bisa melihat masalah demi masalah tanpa menemukan solusinya. Kita memang telah jadi umat yang punya segudang masalah dari dulu sekali sampai sekarang ini, akan tetapi sangat miskin dengan solusi.
Begitu juga dengan suasana kesadaran yang tertutup, tidak sadar, KAFIR, ternyata juga ada pasangannya, yaitu suasana terbuka, sadar, ingat, DZIKIR. Ya…, untuk keluar dari masalah KEKAFIRAN, maka satu-satunya jalan adalah dengan dzikir. Jadi dzikir adalah sebuah proses yang bertujuan untuk membuka tutup kesadaran kita terhadap sesuatu, sehingga sesuatu itu lalu jadi NYATA (ZAHIR) bagi kita.
Sedangkan DZIKRULLAH bermakna sebagai sebuah suasana TERBUKANYA KESADARAN kita terhadap ALLAH. Ya…, dzikrullah adalah suasana ingat dan sadar yang tertuju hanya kepada Allah. Hanya Allah lah yang ADA, sedangkan yang lain selain Allah adalah FANA, TIADA. Pengertian seperti ini merupakan makna hakiki dari kalimat tauhid laa ilaha illallah…!!.
Akan tetapi, kalau kita tidak berhasil mencapai suasana atau wilayah dzikrullah ini, maka hampir secara otomatis pula kita akan masuk ke wilayah KAFIR, yaitu wilayah dimana yang ada adalah yang SELAIN ALLAH, sedangkan ALLAH lalu menjadi WUJUD yang hilang, FANA, TIADA. Dan kafir terhadap Allah ini ternyata adalah puncak dari hilangnya kesadaran seorang manusia yang akibatnya adalah siksa yang sangat pedih bagi manusia itu sendiri.
TUHAN YANG SANGAT SEDERHANA …!
Allah ternyata adalah Dzat yang begitu LUGU dalam memperkenalkan DIRI dan WUJUD-NYA kepada kita umat manusia ini;
Pada taraf pertama, yang biasa-biasa saja, Dia memperkenalkan DIRI-Nya bahwa: “… (sesungguhnya) Aku dekat (Al Baqarah 186). Walau hanya sampai pada kesadaran tentang kedekatan Tuhan seperti ini, namanya sudah ihsan juga. Selanjutnya, Dia memperkenalkan DIRI-Nya bahwa: “…Allah lebih dekat dari urat leher (Al Qaaf 16)”, inipun ihsan juga namanya. Lalu Dia menimpali lagi: “ … Kemana saja menghadap, disana ada wajah Allah (Al Baqarah 115)”.
Pada taraf kedua, yang lebih sederhana lagi, Dia memperkenalkan WUJUD-Nya bahwa: “…Allah meliputi orang-orang kafir (Al Baqarah 19)”. Lagi: “… Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia (Al Israa’ 60)”.
Pada taraf ketiga, yang lebih-lebih sederhana lagi, Dia menyatakan WUJUD-Nya bahwa: “Dia Maha Meliputi segala sesuatu (Al Fushilat 54)”. Dan lagi: “Allah Maha Meliputi segala sesuatu (An Nissa 126)”.
Pada taraf keempat, yang paling sederhana, agar kita nggak usah capek-capek lagi mikirin DIRI dan WUJUD-Nya, maka Dia memagari imajinasi liar kita dengan kalimat: “… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia… (Asy Syura 11)”.
Dan pada taraf kelima, yang tidak ada lagi taraf setelah itu, maka Wujud Yang Maha Meliputi yang tidak sama dengan apapun itu, punya “Aku”. Dia bersabda dengan “Aku”-Nya “Innani ana Allahu, laa ilaha illa ana, fa'budni, wa aqimishshalata lizikrii. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha 14).
Dengan lima taraf kesadaran ihsan kepada Tuhan seperti ini, maka selesai sudah Ilmu tentang Tuhan. Ya…, dengan beberapa ayat Al Qur’an di atas, ilmu tentang tauhidullah, ilmu ma’rifatullah tamatlah sudah. Akan tetapi kelima taraf kesadaran ihsan ini haruslah menjadi SATU KESADARAN UTUH pada saat yang sama. Tidak boleh terpisah-pisah. Dalam setiap aliran nafas, dalam setiap pandangan, dalam setiap pendengaran, maka kita harus duduk pada kesadaran ihsan seperti ini. DEERRR….!!.
Karena kalau kita coba-coba keluar dari pengertian tentang TUHAN yang sesederhana ini, sesuai dengan pengungkapan Tuhan itu sendiri, maka yakin deh bahwa kita akan berubah menjadi orang yang RUMIT dalam berketuhanan. Dan ternyata memang kerumitan itulah yang telah kita warisi dari generasi ke generasi, sehingga kita lalu menjadi umat manusia yang rumit pula. Sangat rumit malah.
Misalnya, kalau kita hanya berhenti sampai pada taraf kesadaran bahwa Allah dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita, maka biasanya kita akan mencari-cari Allah. Allah lalu dicari-cari ke langit yang ketujuh yang entah dimana. Allah dicari di dalam hati. Atau Allah dicari-cari dengan terlebih dahulu melalui alam-alam yang diberi nama misalnya alam lahut, alam nasut, alam jabrut, dan sebagainya. Sungguh rumit sekali untuk ketemu dengan Tuhan. Semakin dicari kedekatan Allah itu, eh… malah Tuhan sepertinya semakin jauh. Jauuuh sekali.
Begitu juga kalau kita berhenti dikesadaran bahwa kemana saja menghadap, disana ada wajah Allah, maka kita akan dibuat sibuk untuk memposisikan hati, memposisikan wajah, jiwa, ruh kita biar bisa dekat dan menghadap terus kepada Allah. Kita sibuk mencari posisi terus, dan biasanya posisinya malah nggak tepat-tepat juga. Serba paradoks memang.
Ada memang diantara kita yang percaya pada ayat Al Qur’an bahwa Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Kita manggut-manggut dan terangguk-angguk malah sangking hafalnya. Akan tetapi sayangnya kita tidak sampai kepada kesadaran berketuhanan, sehingga kita benar-benar terpaku hanya pada kesadaran kebendaan. Serba benda saja yang menarik perhatian kita. Kesadaran kita benar-benar seperti tertutup akan ayat yang menyatakan bahwa Dia Maha Meliputi segala sesuatu.
Ya…, ratusan tahun kesadaran kita akan liputan Tuhan atas segala sesuatu seperti tertutup. Setiap ketemu ayat ini, kita selalu saja di giring kepada pengertian bahwa yang meliputi segala sesuatu itu adalah KEKUASAAN-NYA, PENGETAHUAN-NYA, ILMU-NYA. Sehingga kita sepertinya selalu dibawa terus untuk MENYEMBAH SIFAT TUHAN. Menyembah sifat, walau sifat itu milik Tuhan sekali pun, adalah salah satu bentuk SYIRIK yang tidak ditolerir sedikit pun oleh Tuhan. Sebab Tuhan memerintahkan kita untuk menyembah HANYA kepada DZAT-NYA, AKU-NYA.
Nah…, kalau tutup kesadaran kita sudah terbuka atas Wujud Tuhan Yang Maha Meliputi segala sesuatu, dan sadar pula bahwa Dzat-Nya tidak sama dengan apapun juga, maka kita tinggal bersandar, berpegang, bergantung kepada Wujud Tuhan itu. INI YANG TERPENTING SEBENARNYA. Bahwa kita berpegang teguh kepada Sang Maha Meliputi. Sedangkan yang lain-lainnya nanti tinggal mengikuti saja.
Karena apapun nanti atribut yang melekat dan diselendangkan kepada Allah, baik itu SIFAT, KEHENDAK, PENGETAHUAN, dan PERBUATAN-NYA, maka kesemuanya itu TEPAT berada pada Dzat Yang Maha Meliputi dan Yang Tidak Sama dengan segala apapun INI. Begitu juga dengan segala ciptaan-Nya, sebutlah apa saja, maka semua itu pastilah berada dalam liputan Dzat Tuhan juga. Dan kepada Dzat Tuhan itu pulalah kita harus mengaturkan persembahan, permohonan, penyerahan, penghormatan, dan menghantarkan segala tanda-tanda kelemahan dan kehambaan kita yang lainnya kita arahkan atau kita kembalikan. Bukan kepada yang lain. Selesai sudah…!.
Masalah nantinya Dzat Yang Maha Meliputi Segala sesuatu itu mau disebut dengan istilah apa, itu masalah lain lagi. Umat Islam menyebutnya dengan sebutan ALLAH. Begitu juga, dalam berbagai agama dan kepercayaan. Ada yang menamakan Dzat itu dengan sebutan Brahman…, Oum…, Yehova, Thian, Manitou, Bapa di Syurga, dan sebagainya. Karena memang Dzat itu menyebut diri-Nya sendiri sebagai Rabbul ‘Alamin, Tuhan bagi alam semesta berikut dengan segala isinya. Cuma nanti akan muncul masalah, yaitu: “saat menyebut nama Dzat tadi itu, mampukah kita sampai kealamat yang sebenarnya, yaitu Sang Maha Meliputi?”. Kalau tidak mampu, maka itu namanya kita telah menjadi KAFIR terhadap Dzat Yang Maha Meliputi itu. Akibatnya dalam masalah ketuhanan ini kita lalu menjadi orang yang RUMIT, dan Tuhan pun lalu berubah menjadi Tuhan Yang Rumit.
Dalam ajaran agama Kristen, misalnya, mereka bingung tentang ungkapan Bapa di syurga, sehingga orang tersebut merasa jauh dengan Bapa yang di syurga itu. Lalu untuk menggampangkan agar mereka bisa keluar dari kebingungan itu, maka agama tersebut menciptakan sesuatu yang bisa dipersepsikan dengan mudah. Lalu muncullah konsep Anak Tuhan, atau Tuhan dalam bentuk manusia. Dan atribut seperti ini dilekatkan kepada Yesus Kristus. Sehingga lalu Yesus disembah dan dimintai pertolongan. Kapanpun pemeluk agama Kristen menyebut nama Tuhan, atau dalam berbagai kesempatan disebut juga dengan Allah (umat Kristen melafalkannya dengan Alah), maka arah pikir dari pemeluk agama ini selalu saja dibetot ke arah sosok manusia, yaitu sosok Yesus yang kemudian divisualkan pula dalam bentuk patung dengan berbagai bentuk dan posisi. Yang paling populer adalah visualisasi Yesus yang sedang disalib. Hal yang sama juga bisa terjadi pada umat yang beragama apa pun, tak terkecuali umat Islam. Dimana saat menyebut nama Tuhan, dalam berbagai bahasa, umat-umat beragama itu tidak mampu untuk menghadapkan wajahnya sampai NTEK (hanief) kepada WAJAH Yang Maha Meliputi segala sesuatu.
MANUSIA, SEDERHANA SAJA …!
Sudah sangat jamak imajinasi di masyarakat umum, bahkan sejak zaman dulukala, bahwa manusia harus mengenal dirinya sendiri dulu baru setelah itu dia bisa mengenal Tuhannya, man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu dalam bahasa Arabnya. Ini sebuah pameo yang banyak beredar di masyarakat. Ada yang menolaknya, dengan alasan bahwa ungkapan ini bukan hadits dari Rasulullah. Orang yang menolak ini berpendapat bahwa ungkapan ini adalah bahasa para filsuf yang bergelut di bidang FILSAFAT. Tapi adapula yang menerimanya hanya karena ada bahasa Arabnya, atau malah ada pula orang yang meyakininya sebagai Al Hadits. Sehingga kemudian banyaklah orang yang berusaha mencari tahu siapa dirinya ini. Dirinya itu hilang kali ya…, atau tersembunyi entah dimana, sehingga perlu dicari kembali sampai ketemu.
Dari hasil pencarian itu, maka kemudian lahirlah berbagai konsep tentang diri manusia itu. Ada yang ketemu bahwa dirinya adalah diri yang penuh dengan nafsu kotor sehingga perlu dibersihkan dulu kekotorannya itu. Bersih-bersih diri dulu tahapan awalnya. Maka sibuklah orang dengan laku pembersihan diri (tadzkiyatun nafs). Tapi nggak tahu tuh apa dirinya bisa benar-benar bisa bersih atau tidak.
Ada juga yang ketemu bahwa dadanya kok bergolak terus dengan berbagai rasa amarah, benci, iri, dengki, sedih, senang, bahagia yang pilin berpilin nggak terduga-duga. Berubahnya rasa tadi itu terjadi seperti acak. Polanya rumit. Sehingga ada pula kemudian sibuk untuk mengelola dan mengatur hati ini agar hati tersebut berada di satu sisi saja, yaitu sisi yang bahagia, senang, tidak marah, tidak iri, tidak benci, dan tidak-tidak negatif yang lainnya.
Kemudian dari hasil perjalanan panjang mengolah diri dan hati itu, maka mucullah konsep-konsep mengenai JATI DIRI, DIRI YANG SEJATI, dan sebagainya. Pada umumnya konsep ini sangat susah untuk dipahami apalagi untuk dijalani. Sehingga banyaklah orang yang merasa pesimis. Lalu sang pesimis menghindar dengan menyalahkan takdir Tuhan pula. “Tuhan sudah menakdirkan saya jadi begini…, dst.”
Padahal siapa dan bagaimana diri kita ini yang sebenarnya sudah nggak usah dicari-cari lagi. Nggak usah capek-capek lagi nyari kesana kemari. Tinggal kita baca satu dua ayat Al Qur’an, dimana Sang Pencipta diri kita ini telah menerangkannya dengan sangat jelas. Karena Dia lah yang sangat tahu tentang diri kita ini. Setelah itu, kita lalu minta tolong saja kepada Sang Pencipta kita itu untuk memberikan kita kepahaman, kesadaran atas ayat Al Qur’an yang menerangkan serba-serbi diri kita itu. Sebab, kalau kita yang mencari-cari diri kita sendiri, maka hasilnya juga hanyalah kira-kira atau persepsi saja. Masak jeruk bisa makan jeruk...!.
Nah…, Al Qur’an dengan sangat gamblang telah menerangkan bahwa yang disebut sebagai manusia itu hanya punya dua substansi saja, yaitu NAFS dan RUH. Nggak lebih dan nggak kurang. Sederhana sekali. Sangat sederhana malah.
Di satu sisi, nafs adalah substansi yang berasal dari saripati tanah yang dibentuk Allah dengan sangat sempurna berikut dengan segala sifat, dorongan, dan kecenderungannya. Dan di sisi lain, ruh adalah substansi yang berasal dari Allah, sehingga Allah menyebut ruh itu dengan sangat mesra sebagai Ruh-Ku.
Allah tidak sedikit pun menerangkan bahwa ruh itu adalah ciptaan-Nya. Allah menyebutkan bahwa ruh itu adalah Ruh-Nya. Bukan ciptaan-Nya. Apalagi penggambaran konyol bahwa ruh itu seperti pocong, huh… lebih-lebih tidak berdasar lagi. Tidak seperti itu. Nggak tahu dari mana tuh asal muasalnya imajinasi liar tentang ruh seperti itu. Allah hanya menyatakan bahwa ruh itu adalah mengikuti rahasia dan fitrah Allah. Dan tidaklah kita diberitahu tentang ruh itu kecuali hanya sedikit. Tapi siapa yang dapat menakar sedikit menurut Allah itu…?. Nah temukanlah pengetahuan yang sedikit menurut Allah itu. Namun yakinlah bahwa sedikit menurut Allah itu sungguh sangat-sangat-sangat banyak sekali untuk ukuran kita. Seperti nggak habis-habisnya begitu…!.
Akan tetapi, kalau kita tidak mau berhenti memahami bahwa diri kita ini hanyalah NAFS dan RUH, artinya kita masih mau mencari tahu tentang diri kita ini lagi, memangnya mau dicari kemana…?, dan seperti apa lagi maunya diri kita ini …?. Sudah sangat jelas begitu kok. Kita manusia ini hanyalah terdiri dari NAFS dan Ruh. Titik….!!.
MENGUAK KESADARAN EKSISTENSIAL…
Sekarang pengetahuan kita tentang TUHAN dan tentang MANUSIA sudah menjadi sangat sederhana. Bahwa pada dimensi ketuhanan, yang ada hanyalah ALLAH dan ALAM. Sedangkan pada dimensi kemanusian, yang ada hanyalah Ruh dan NAFS.
ALLAH adalah WUJUD yang meliputi ALAM, dan alam adalah substansi yang diliputi oleh WUJUD ALLAH. Sebutlah alam apa saja, apakah itu alam semesta, ataupun alam-alam gaib seperti alam akhirat, alam syorga, alam neraka, alam malaikat, alam jin, alam syetan, alam pikiran, alam khayalan, dsb. Maka semua itu PASTILAH berada dalam liputan Allah. Karena liputan Allah itu begitu kolosal dan besarnya, maka Allah disebut juga sebagai Sang Maha Besar. Begitu juga karena ketinggian yang tak terukur pun berada dalam liputan Allah, maka Allah disebut juga sebagai Sang Maha Tinggi. Artinya adalah bahwa kemana pun kita menghadap, maka yang nyata adalah Wujud Tuhan yang meliputi segala sesuatu.
Sedangkan untuk mengerti tentang eksistensi Ruh dan NAFS, marilah kita buka kembali peta yang memang telah disiapkan Sang Pencipta untuk umat manusia, yaitu Al Qur’an. Dalam surat Al Qiyamah ayat 14 Allah berkata:
“Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (Nafs) ada yang tahu (Bashirah).
Artinya, sang bashirah inilah yang mampu untuk menjadi saksi atas diri manusia itu sendiri (NAFS). Substansi macam apakah bashirah ini, sampai-sampai sang bashirah bisa tahu tentang apapun tentang diri manusia..?.
Jawaban pertanyaan ini bisa kita lihat dalam surat As Sajdah ayat 7-9:
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Dan dalam surat Al Mujadilah ayat 22:
“…Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan RUH-NYA…”
Ini berarti bahwa Ruh-Nya atau kita ringkas saja menjadi Ruh yang dialirkan kepada Nafs, merupakan substansi yang selalu mengawal Nafs dari waktu ke waktu. Abadi liputan Ruh atas Nafs itu. Hanya karena liputan Ruh atas Nafs inilah yang menyebabkan Sang Nafs bisa mengarungi hidup baik itu di alam dunia, maupun di alam akhirat. Ruh ini pulalah sebenarnya substansi yang hidup, yang kuat, yang bergerak, yang melihat, yang mendengar, yang tahu. Karena memang Sang Ruh berasal dan mendapat pengajaran dari Yang Maha Hidup, Yang Maha Kuat, Yang Maha Bergerak, Yang Maha Melihat, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Tahu. Sedangkan Sang Nafs hanyalah semata-mata substansi yang bersandar mengikuti apapun fitrah dari Sang Ruh.
Kalau begitu, substansi yang hakiki pada seorang manusia adalah Ruh itu sendiri. Tepatnya Aku yang hakiki bagi manusia adalah Sang Ruh ini, Sang Bashirah. Sedangkan Nafs boleh dikatakan hanyalah substansi yang tidak bisa apa-apa. Substansi yang diam, bodoh, buta, tuli, tidak tahu. Dalam bahasa agamanya sifat dan keadaan seperti ini disebut sebagai FANA. Ya seperti mayat begitulah, atau seperti orang pingsan, orang koma. Atau yang paling dekat dengan kita sehari-hari yaitu orang yang sedang TIDUR.
MERANGKAI KESADARAN AWAL…
Sekarang mari kita lanjutkan membenahi kesadaran kita yang selama ini tertutup tentang eksistensi manusia dan Tuhan. Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam ungkapan man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu di atas kalau kita memang masih mau memakainya. Mari kita duduk rileks sejenak untuk mengenal diri kita yang hakiki. Lakukanlah perubahan kesadaran sebagai berikut:
· Pejamkan sajalah mata dengan ringan. Kening nggak usah berkerut-kerut seperti orang yang sedang berpikir tentang sesuatu. Santai saja.
· Sadari ada kaki kita. Kalau belum bisa sadar cobalah pegang kaki itu. Oooo…, ada kaki saya yang berada dibawah saya. Diamlah beberapa saat untuk meyakini dan menyadari bahwa saya berbeda dengan kaki saya.
· Lalu sadari ada tangan kita, bahu kita. Kalau belum sadar cobalah pegang atau raba semua itu dengan lembut sambil membawa serta kesadaran kita ke tempat yang kita sentuh. Oooo…, ada tangan, ada bahu saya yang berada di bawah saya. Diam pulalah beberapa saat disana untuk meyakini dan menyadari bahwa saya benar-benar berbeda dengan tangan dan bahu saya.
· Kemudian coba sadar ada dada kita. Amati sajalah dada itu sebatas sadar akan akan keberadaan dada itu di bawah kita. Jangan masuk ke dalam dada itu. Karena kalau masuk ke sana nanti kita akan dihadang oleh berbagai fenomena yang terbolak balik, enak dan senang yang silih berganti. Nggak usah kita pedulikan dululah fenomena-fenomena itu. Gampang itu nanti.
· Kemudian dengan cara yang sama, sadari pulalah keberadaan mata, telinga, kepala dan otak kita. Oooo…, ternyata kesemuanya itu juga berada di bawah saya…!. Oooo…, saya bersaksi (syahid, syahadah) tentang ayat: “Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (NAFS) ada yang tahu (BASHIRAH)”, adalah benar…!!!
· Ooo…, ternyata memang saya berada di atas semua instrumen saya, yaitu tubuh saya dengan segala tetek bengeknya yang berasal dari saripati tanah itu. Dan sayalah Sang Bashirah itu.
Dengan cara yang sangat sederhana seperti ini, ternyata kita bisa tahu tentang makna hakiki dari ungkapan man ‘arafa nafsahu, bahwa pada hahekatnya yang ada hanyalah SAYA dan DIRI SAYA. Ada RUH dan NAFS. Ada Bashirah yang tahu atas semua instrumen yang terdapat pada Nafs. Saya (Ruh) nyata sekali terpisah dengan diri saya (Nafs). Akan tetapi, walaupun terpisah saya tetap meliputi seluruh diri saya. Buktinya saya tetap tahu semua intrumen saya sampai detail. Saya bisa tahu ada instrumen saya yang sakit, yang patah, yang luka, yang tidak baik. Saya juga tahu saat ada anggota tubuh saya yang hilang. Misalnya, saya tetap tahu kalau tangan kanan saya diamputasi. Bahkan saya juga tahu segala rasa-rasa yang muncul pada diri saya seperti rasa kecewa, marah, benci, iri, pelit, medit, tidak khusyu’, tidak ikhlas, tidak sabar, dan rasa-rasa jahat lainnya seperti tahunya saya saat diri saya dilanda rasa senang, bahagia, cinta, ikhlas, khusyu’, sabar, dan berbagai rasa yang baik lainnya.
Akan tetapi saya dan tubuh saya ternyata tidak bersatu. Ya…, saya dan tubuh saya ternyata tidak bersatu seperti bersatunya merica, garam, bawang dan kentang dalam sebutir perkedel sehingga membentuk substansi yang lain sama sekali dari unsur-unsur pembentuknya. Tapi sayalah yang meliputi seluruh tubuh saya. TEGASNYA…, saya (Ruh) berada di luar dan sekaligus juga di dalam tubuh saya (NAFS).
Janganlah terlalu berlama-lama mengamati instrument kita tadi itu, terutama dada dan otak kita. Karena keduanya memang punya daya tarik dan kecenderungan (Hawa un Nafs) yang cepat sekali menarik-narik kita untuk tenggelam ke dalamnya. Kalau tidak percaya cobalah amati otak kita agak lama, maka dengan kecepatan yang pasti, kita akan ditarik pada file-file yang ada di dalamnya. Cepat sekali kita dibawa dari satu file ke file yang lainnya. Sehingga kalau kita tidak bisa keluar dari file-file fikiran itu, kita terhenti di satu atau beberapa file fikiran itu, misalnya tiga hari saja, maka kita akan menjadi orang yang susah tidur, atau sakit kepala, pusing dan sebagainya.
Begitu juga kalau kita terlalu lama mengamati dada kita, apalagi sampai ke detail-detailnya yang berupa lokasi-lokasi tertentu. Maka dengan cepat kita akan ditarik pula masuk ke dalamnya. Kita akan dibawa melalui berbagai rasa dan pemandangan yang sebenarnya sangatlah mengasyikkan. Akan tetapi kalau kita tidak tahu arah jalan keluarnya, maka kita akan disekap oleh rasa itu. Bisa berhari-hari sekapan perasaan itu melilit kita. Bahkan ada yang berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Cobalah kalau tak percaya…!!. Tapi sebelum mencobanya, sebaiknya kita tahu dulu jalan keluar dari sekapan dan lilitan perasaan itu. Mari kita coba meretas jalan keluar itu.
Begitu kita mampu menyadari bahwa, oooo…, ternyata saya yang hakiki adalah Ruh sedangkan Nafs hanyalah instrumen saya, maka saya harus mencari cantolan agar saya tidak terombang ambing kesana kemari oleh daya tarik kecenderungan Nafs tadi seperti yang sering kita alami selama ini. Coba…, sedang shalat saja, yang notabene saat itu kita tengah memuja Tuhan, ee…, kita masih saja bisa ditarik-tarik untuk menghadap kepada yang lain, misalnya, problem keseharian kita. Untuk bisa keluar dari tarikan kepada selain Allah itu maka kita haruslah mencari peta yang benar dan yang mampu mengantar kita untuk mengetahui arah cantolan atau tempat kembali kita yang sebenarnya. Peta itu adalah Al Qur’an yang kemudian detailnya termuat di berbagai Al Hadits.
Lalu saya sendiri mencoba untuk membolak balik Al Qur’an dan Al Hadits itu dengan penuh rasa keingintahuan saya untuk mendapatkan jawabannya. Dapat…!. “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un, aku ini adalah dari dan milik Allah dan kepada-Nya aku harus kembali”, kata Tuhan saya memberi tahu saya dengan gamblangnya. Dan saya pun buru-buru menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya. Deeerrr…!. Maka dengan seketika itu juga saya langsung akan mengenal Tuhan saya, sehingga ungkapan “faqod arafa robbahu” benar-benar bisa menjadi tempat pemberhentian saya yang terakhir. Dalam segala hal…!!.
Jadi makna dari ungkapan man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu itu sebenarnya sederhana sekali, yaitu “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un”. Karena memang saya ternyata hanyalah semata-mata Ruh-Nya. Dari-Nya, milik-Nya. Sehingga tiada lagi nisbah kepadaku melainkan hanya kepada Dia.
Apa makna dari ungkapan ini…?. Mari kita lanjutkan perjalanan kita untuk membuka kembali kesadaran kita terhadap Allah setahap demi setahap. Karena kita memang saat ini sedang ter-cover. Akui sajalah bahwa kita ini memang sedang ter-cover. Jangan malu-malu. Saya juga sedang ter-cover kok…!.
TEMPAT KEMBALI YANG HAKIKI …
Secara fitrah, segala sesuatu selalu punya kecenderungan untuk kembali kepada fitrah asalnya. Saripati tanah pastilah punya keinginan untuk kembali kepada tanah pula. Siapapun tidak akan bisa menolak bahwa saripati tanah yang boleh jadi bentuknya berbeda-beda, misalnya, dalam bentuk tubuh manusia, tubuh hewan, dan tanaman, pada saat yang tepat pastilah akan kembali menjadi tanah. MATI.
Oleh sebab itu untuk kembali membuka kesadaran kita kepada yang tidak sama dengan tanah, yang bukan tanah, maka janganlah coba-coba untuk membawa-bawa tanah itu menghadap kepada yang bukan tanah. Jangan bawa mata untuk melihat yang bukan tanah. Jangan bawa telinga untuk mendengar yang bukan tanah. Jangan bawa otak untuk memikirkan yang bukan tanah. Jangan bawa dada untuk merasakan yang bukan tanah. Karena mata, telinga, otak dan dada itu nanti akan sirna dimakan ulat dan belatung setelah semuanya itu ditanam kembali di dalam tanah, setelah semua itu tidak berfungsi. MATI.
Tapi jangan pula mata, telinga, otak dan dada itu dimatikan seperti ajaran mematikan dan menutup “hawa songo” dalam praktek kebatinan tertentu. Hanya lewati saja kesemuanya itu seperti lewatnya angin dan cahaya di udara terbuka yang tidak ada tumbuhan, tidak ada bangunan, tidak ada gunung yang menghalangi. Tanpa hambatan, tanpa tekanan. Atau RILEKS dalam bahasa populernya. Seperti rileksnya mata, telinga, otot, otak dan dada seorang bayi. Nggak susah kok untuk rilkes ini. Sudah rileks….???.
Kalau sudah, maka hampir secara otomatis kita akan mempunyai kesadaran bahwa kita ternyata meliputi seluruh Nafs atau diri kita. Lalu lupakan sajalah seluruh atribut dan fenomena Nafs itu. Lalu yang tinggal adalah SAYA, Sang MIN-RUHI, SANG BASHIRAH, SANG AKU DIRI.
Nah…, mari kita lanjutkan tentang bagaimana proses Sang Aku Diri ini luruh ke dalam pelukan Sang Aku Hakiki, ALLAH:
· Sekarang munculkan afirmasi atau niat, bahwa saya tidak tahu tentang Allah. Saya tidak tahu bagaimana cara sadar dan ingat kepada Allah (DZIKIRULLAH). Karena yang tahu tentang Allah adalah Allah sendiri. Lagi pula…, sudah sekian lamanya saya TERTUTUP oleh kecenderungan Nafs (Hawa un Nafs) untuk SADAR dang INGAT kepada ALLAH. Oleh sebab itu mulai saat ini, saat ini juga, tanamkanlah sebuah afirmasi atau niat yang kuat bahwa saya punya Tuhan yang Nama-Nya adalah ALLAH.
· Kemudian munculkan sebuah rasa ingin yang sangat kuat (jahadu) agar diajarkan oleh Allah tentang Allah sendiri.
“Allahumma ‘ala dzikrika”
Ya Allah dzikirkan saya, ingatkan dan sadarkan saya.
Ajarkan saya untuk bisa ingat dan sadar kepada-Mu.
Saya tidak bawa apa-apa selain hanya PENGETAHUAN bahwa Engkau Maha Meliputi Segala Sesuatu dan Engkau tidak sama dengan segala apapun juga”.
Kalau perlu ulangilah niat untuk ingin di tuntun oleh Allah ini dengan kerendahan hati yang amat sangat (tadarru’).
· Saya lalu mengucapkan langsung (tanpa perantara dan wasilah apapun) kepada Wajah Sang Maha Meliputi ungkapan persaksian dan shalawat sebagai berikut:
Bimillahirrahmanirrahim,
Asyhadu anlaa ilaaha illallah,
Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad.
· Lalu panggil-panggillah Nama Sang Maha Meliputi itu dengan teguh:
Ya Allah…, Ya Rahman…!.
Ulangilah memanggil-manggil Ya Allah, Ya Rahman ini beberapa kali dengan kerendahan hati yang amat sangat, sampai nantinya muncul tarikan rohani kearah yang Maha Tinggi. Biasanya munculnya tarikan rohani ini tidaklah terlalu lama setelah kita memanggil-manggil Allah. Paling dalam hitungan menitan. Kalau dalam waktu 3 menit berselang belum juga muncul tarikan rohani ini, maka jangan diteruskan. Percuma saja. Karena kalau sudah lebih dari 3 menit tapi nggak ada tarikan rohani juga, maka yang muncul kemudian adalah fikiran kita. Kita mulai mikirin tentang bagaimana tarikan rohani itu, bagaimana direspon Tuhan, dan sebagainya. Kalau sudah begini maka istirahatlah sebentar, dan kemudian mulailah lagi dari awal.
· Kalau tarikan rohani itu muncul, maka jangan takut, jangan dilawan, dan jangan dipikirkan. Karena kalau takut, atau dilawan, atau dipikirkan, maka seketika itu juga tarikan itu akan lenyap. Sebenarnya tarikan rohani itu hanyalah sebuah pergerakan kesadaran kita saja dari kesadaran ketubuhan (Nafs) menuju kesadaran yang mengatasi Nafs menuju ketidakberhinggaan. Akan tetapi, dalam pergerakan kesadaran demi kesadaran itu kita seperti DITUNTUN. Jadi bukan karena usaha kita sendiri lagi. Tapi dituntun, ditarik. Nah…, ikuti sajalah tuntunan itu. Biasanya respon akibat dari adanya tuntunan itu adalah, dada kita berguncang, atau tepatnya diguncangkan dari dalam, sehingga kita bisa dibuat histeris, menangis dan bahkan tersungkur saking dahsyatnya tarikan rohani itu.
· Kemudian pada saatnya, respon dengan rasa ditariknya rohani kita itu akan berhenti dan berganti dengan munculnya rasa tenang, damai, luas yang dalam bahasa Al Qur’an disebut dengan TALINU (lihat Az Zumar 23).
· Dan bacalah, IQRA suasana tenang, damai, dan luas itu, karena disana sungguh sangat tidak terhingga ilmu pengetahuan maupun solusi dari berbagai persoalan. Di wilayah itu semuanya digeletakkan begitu saja oleh Allah untuk menunggu manusia-manusia yang mau otaknya dialiri fikiran Tuhan, yang mau dadanya dialiri oleh kehendak Tuhan. Ya…, manusia yang mau menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan, yang mau meneruskan tongkat estafet perjuangan Rasulullah. “Sedangkan untuk bekalnya…, semuanya dari-Ku”, kata Allah menjamin. Kita hanya tinggal memunguti bekal itu sesuai dengan kebutuhan.
· Lalu nikmatilah hasil dari IQRA (membaca) suasana per suasana itu dalam bentuk RASA MENGERTI (NGEH).
Catatan:
Oleh sebab itu selalulah perkuat rasa mau belajar kepada Allah, berguru kepada Allah. Lalu tanamkan juga niat yang kuat bahwa saya akan IKUT MAU-NYA ALLAH. Sikap ini merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh seseorang yang tidak tahu dan ingin menjadi tahu. Karena memang hanya inilah modal kita yang ada pada kita. Dengan sikap ini kita dituntun untuk SADAR PENUH kepada Tuhan. Kalau sudah sadar penuh kepada Allah, maka kita dengan senang hati akan ikut mau-Nya Allah. Dan kalau kita sudah ikut mau-Nya Allah maka kita akan dituntun dari satu keadaan ke keadaan lain, dari satu suasana ke suasana lain, dari satu pengetahuan ke pengetahuan lain. Bukankah tuntunan Tuhan ini yang selalu kita pohonkan dalam setiap shalat kita…?. Kita selalu mengeluhkan kepada Allah: “Iyyaka na’budu wa iyya ka NASTA’IN…?”. Tuntun saya ya Allah…!.
· Nah…, kalau suasana ajar mengajar antara seorang hamba dengan Sang Maha Guru, ALLAH, ini sudah bisa kita dapatkan, maka tinggal kita nikmati saja pemahaman-pemahaman yang lainnya, misalnya:
Ø Tuhan itu siapa..?.
Tuhan adalah yang Dzat Yang Maha Dahsyat, Sang Pencipta alam semesta dengan tidak sia-sia, bumi, matahari, bintang-bintang, tumbuhan, termasuk diri kita. Seluruh ciptaan-Nya bermanfaat, tidak ada yang sia-sia. Malaikat, bahkan iblis sekalipun akan bermanfaat bagi manusia. Deerrr…!, maka masukilah wilayah KESADARAN akan kedahsyatan Tuhan itu.
Ø Tuhan Maha Meliputi segala sesuatu.
Kita, tubuh kita juga diliputi Nya. Amati liputan Tuhan itu terhadap jantung, darah, paru-paru, otak, semuanya. Nafas kita juga diliputi oleh Tuhan. Amati kerja tuhan pada tubuh kita. Ternyata karsa, keinginan, kesibukan Tuhanlah yang bekerja atas semua yang ada di dalam tubuh kita itu. Seperti juga karsa Tuhan terhadap alam semesta. Deerrr…!. Masukilah wilayah KESADARAN akan kedahsyatan karsa Tuhan itu. Lalu histeris, terpana, terkapar, adalah sebuah keniscayaan saja.
Ø Sadari akan alam RASA melihat, alam RASA mendengar, alam RASA tahu, masuklah ke wilayah KESADARAN RASA-RASA itu tadi.
Nanti kita akan dibawa sadar, dituntun sadar bahwa ternyata yang melihat itu bukanlah mata saya, tapi ada rasa melihat yang mengalir melewati mata itu. Kita akan dibawa untuk sadar bahwa yang mendengar itu ternyata bukanlah telinga saya, tapi ada rasa mendengar yang mengalir melewati telinga itu. Kita akan disadarkan pula bahwa yang tahu itu bukanlah otak saya, tapi ada rasa tahu yang mengalir melewati otak saya. Begitu juga dengan rasa tenang, damai, dan bahagia. Ternyata semuanya itu hanya sekedar rasa yang dialirkan melewati dada saya. Amatilah semua alam rasa-rasa tadi itu. Karena disitu juga sangat kaya, melimpah ruah, dengan pengajaran dan tahu. Akan tetapi bagi yang mau masuk ke wilayah kearifan, maka semua pengajaran dan tahu tadi itu hanya akan dilihat dengan selayang pandang saja. Karena semua itu adalah hijab yang akan menutupi kesadaran kita terhadap Sang Maha Mengalirkan rasa itu kepada kita.
Ø Masuklah ke dalam kesadaran atas rasa melihat, rasa mendengar, dan rasa tahu itu.
Nanti kita akan dibawa kepada kesadaran baru bahwa semuanya itu ternyata adalah RASA MILIK ALAM. Oleh sebab itu jangan diaku. Ya…, semua ternyata adalah rasa melihat milik alam, rasa mendengar milik alam, rasa tahu milik alam. Yang ada adalah rasa alam semesta…!. Tegasnya…, yang ada adalah alam…!.
Ø Jangan mau berhenti di kesadaran alam semesta ini. Masuklah ke dalam kesadaran yang lebih dalam. Masuklah dengan niat, atau afirmasi bahwa:
ü Alam ini diadakan oleh Allah.
ü Ooo…, kalau begitu yang ada hanyalah alam dan Allah.
ü Alam adalah qodrat dari Allah.
ü Sehingga yang ada adalah qodrat Allah dan Allah.
ü Qodrat Allah kembalikan ke Allah
ü Sehingga yang tinggal, Yang ADA hanyalah ALLAH.
Ø Lalu tegaskanlah:
laa ilaha illallah
Ø Lalu bertasbihlah:
subhanallah
alhamdulillah
laa ilaha illallah
Allahu Akbar.
Laa haula wala quwwata illa billah.
Ø Lalu akan muncul pekikan HU…, HU…, HU…!
Ø Lalu akan muncul rasa patuh dan sujud sebagai seorang hamba kepada Allah.
Ø Lalu………….!,
Ø Lalu………….!.
Nah…, demikianlah sekilas saya mencoba menggambarkan secara verbal sebuah proses yang kalau dialami langsung akan jauh lebih dahsyat dari hanya sekedar bahasa tertulis seperti ini. Nah silahkanlah masuk sendiri-sendiri ke dalam suasana dan kesaksian seperti di atas. Maka anda akan menangguk manfaat yang tak terkirakan.
MEMAKAI BAJU KESADARAN…
Begitulah…, kalau kita mau dituntun oleh Allah suasana per suasana, maka tinggal kemudian suasana itu kita pakai sebagai “baju” kita sehari-hari. Misalnya, saat diri kita ditimpa oleh berbagai masalah yang rumit, kita langsung saja buru-buru membawa masalah itu kepada Allah. Dan dengan sangat mengherankan kita akan ditarok di atas masalah itu sehingga kita tinggal memunguti solusi yang cocok untuk menyelesaikan masalah itu. Walau pun nanti hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, itu masalah lain lagi. Nggak usah dicampur adukkan antara hak kita dengan hak Allah. Percaya sajalah bahwa Allah tahu persis apa-apa yang terbaik buat kita.
Apapun juga…, omongkanlah kepada Allah, berbisiklah kepada Allah. Karena Allah memang adalah satu-satunya ALAMAT yang sangat jelas untuk tempat kita menyampaikan segala sesuatu. Kalau alamat ini kabur, nggak jelas, maka itu namanya kita sedang kafir terhadap Allah. Oleh sebab itu sadarkanlah diri kita atas keberadaan alamat itu. Ini nih…!. INI….!. Hu…, hu… hu…!. Nggak usah dicari jauh-jauh ke langit yang ke tujuh atau ke alam-alam malakut, alam jabarut, alam lahut, dan alam-alam lainnya. Deerr…!. Lalu duduklah di sini memunguti jawaban Allah (Makhraja) atas persoalan kita. Kalau sudah begitu, maka kita setidaknya bisa merasakan cipratan rahmat sebagaimana dirasakan oleh para penyambung tangan Rasulullah. Yaitu para sahabat Rasulullah dan wali-wali Tuhan. Karena sahabat dan penerus Rasulullah itu artinya adalah orang yang sadar penuh terhadap Tuhan. Sadar penuh. DZIKRULLAH. Sedangkan si Deka hanyalah wali dari Karima Yuridawati, anak saya.
Sekian. Hanya Allah yang Maha Tahu.
Deka
Cilegon 18 April 2005,
Jalan Kabel no. 16, jam 06:00
Directions:
Sumber : Milist Dzikrullah
Selama ini mungkin kita sudah sangat kenyang dengan doktrin dalam berbagai agama tentang kata-kata KAFIR ini. Dimana cap kafir ini sudah berubah menjadi sebuah ungkapan yang sangat MENAKUTKAN, MENJIJIKKAN, dan MENGERIKAN. Saat cap kafir ini sudah melekat pada diri seseorang, maka sepertinya orang itu sudah kita anggap sebagai seseorang yang punya kesalahan yang sangat fatal dan derajat yang sangat rendah. Dengan mencap orang lain kafir, maka sepertinya ada diantara kita yang merasa bahwa darah orang kafir itu HALAL untuk ditumpahkan. Sehingga dalam sejarah peradaban manusia, kita sudah sangat hafal dengan berbagai peperangan demi peperangan yang di jalani oleh kakek moyang kita.
Dengan cap kafir terhadap seseorang, maka kebanyakan dari kita akan melihat orang yang di cap kafir itu dengan pandangan penuh kebencian, penuh kecurigaan, dan bahkan penuh kemarahan. Karena kita takut jangan-jangan orang yang di cap kafir itu akan membawa kita juga untuk menjadi kafir. Padahal status kafir ini dalam pelajaran-pelajaran agama apa pun akan diganjar dengan neraka. Sebuah ganjaran yang membuat kita GACAR (mencret) karena ketakutan.
Padahal kalau kita kupas agak sekupas dua kupas, maka ungkapan KAFIR ini hanyalah sebuah ungkapan dengan pengertian yang sangat sederhana saja. Bahwa seseorang yang TIDAK MENYADARI akan SESUATU, maka orang itu dikatakan sedang KAFIR (ter-cover), tertutup kesadarannya terhadap SESUATU tersebut. Hanya sesederhana itu saja kok pengertian tentang KAFIR. Kitanya saja yang mau-maunya di distorsikan pemahaman kita seperti sekarang ini, sehingga jadilah kita seperti saat ini. Umat yang hidup penuh dengan konflik yang dipelihara turun-temurun hanya karena sebuah kata KAFIR. Masalah bagaimana pedih dan kerasnya hukuman Tuhan terhadap orang-orang yang kafir kepada Allah adalah masalah lain lagi. Begitulah salah satu cara Allah dan Rasulullah memotivasi umat manusia agar mau ingat dan sadar kepada Allah, yaitu dengan menakut-nakuti umat manusia dengan hukuman yang sangat pedih dan di neraka pula tempatnya.
Disamping itu, saat saya tidak mampu membuka kesadaran saya terhadap ketuhanan YESUS seperti yang diyakini oleh umat Nasrani, maka umat Nasrani akan menganggap saya sebagai seorang kafir terhadap Yesus, ya ndak masalah. Begitu juga saat saya tidak mampu membuka kesadaran saya tentang Allah, maka saat itu saya akan dilabeli oleh Allah sendiri sebagai seorang yang kafir terhadap Allah. Walaupun ilmu pengetahuan saya tentang Allah barangkali sudah sangat lengkap, akan tetapi jika pada saat yang sama saya tidak sedikit pun merasakan IHSAN terhadap Allah, maka boleh jadi saat itu saya sedang kafir kepada Allah. Ya…, karena saat itu saya tidak sedikit pun sadar akan keberadaan Allah. Ungkapan seperti ini yang kita tidak siap untuk menerimanya.
Untuk membuktikan tentang tidak ihsannya kita ini sangat gampang sekali kok. Saat di keseharian kita, mampu nggak kita untuk merasa “SUNGKAN” untuk berbuat TIDAK BAIK, atau mampu nggak kita untuk merasakan “TUNTUNAN” Tuhan atas setiap tindakan kita ke arah yang BAIK-BAIK. Kalau yang ada adalah rasa TIDAK SUNGKAN kita untuk berbuat tidak baik, dan rasa TIDAK DITUNTUN ke arah yang BAIK, maka saat itu juga kita bolehlah untuk SANGAT khawatir, jangan-jangan Tuhan memang sedang mencampakkan dan membiarkan kita (istidraj).
Tapi jangan khawatir. Saat kita digeletakkan oleh Allah ini (dalam posisi istidraj), sebenarnya kita tetap dan tengah dituntun oleh ALLAH juga. Namun tuntunan Allah itu ke arah yang TIDAK BAIK. Ya…, arahnya saja yang salah. Betapa tidak. Untuk berbuat jahat dan tidak baik itu sebenarnya kita butuh daya, tenaga, dan keberanian yang sangat besar. Untuk berbohong saja, misalnya, kita rasanya harus mengeluarkan tenaga ekstra. Apalagi untuk mencuri, berzina, korupsi, dan berbagai perbuatan tidak baik lainnya. Sungguh semuanya itu butuh daya yang sangat besar. Apalagi kalau semua perilaku buruk itu melekat pada diri kita sendiri. Wuiih…, dahsyatnya power yang kita butuhkan.
Makanya dalam keseharian kita, dalam shalat kita, kita selalu minta dituntun Allah ke jalan yang LURUS (Ihdinash shiraathal mustaqiim). Tapi itulah kita manusia ini, kita hampir sebagian besar tertahan dari tuntunan Tuhan ke arah yang lurus (baik) ini. Dan anehnya lagi tertahannya kita dari tuntunan Tuhan ke arah yang baik itu karena kita memang tengah DIBUAT LUPA atau DIJADIKAN TIDAK TAHU oleh ALLAH dalam memanfaatkan SWITCH (tombol) penentu arah saat kita berada dipersimpangan jalan antara yang baik dan yang buruk itu. Nah…, supaya tidak dibuat lupa oleh Allah, maka carilah switch itu sampai dapat, dan kita nanti tinggal menikmati tuntunan ke arah yang baik.
Kemudian, dalam pelajaran tentang TUHAN pun, kita selama ini sudah sangat jauh terdistorsi dari suatu pengertian yang sebenarnya sangat sederhana. Dengan pengetahuan yang sampai ke otak kita, dari berbagai sumber, seakan-akan kita umat manusia ini sedang sibuk mencari diri sendiri dan juga mencari Tuhan. Dengan pengajaran tersebut, seakan-akan kita saat ini tengah berada dalam suasana KEHILANGAN DIRI kita sendiri dan KEHILANGAN TUHAN pula, sehingga harus kita temukan lagi. Maka kemudian lahirlah berbagai konsep tentang usaha umat manusia dalam mencari dan menemukan dirinya sendiri maupun Tuhan. Dan anehnya, SEMAKIN RUMIT konsep itu, maka orang umumnya menganggapnya sebagai sebuah konsep yang LEBIH BENAR.
Dalam menghadapi kerumitan konsep itu, umumnya umat manusia terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang yang mau tidak mau terpaksa harus menerima kerumitan itu sebagai sebuah sikap hidup. Karena kalau tidak, maka kelompok ini sangat ketakutan dengan cap kafir dengan ganjaran yang sangat mengerikan seperti yang sudah dijelaskan di atas : NERAKA. Kelompok kedua adalah gerombolan orang yang bersikap MASA BODOH terhadap konsep yang rumit-rumit itu, saking rumitnya. Karena dengan tidak memakai konsep yang rumit itu hidup mereka toh nggak menderita-menderita amat. Enjoy aja kata sebuah iklan…!.
Mungkinkah ada konsep yang SANGAT SEDERHANA agar kita bisa DISADARKAN tentang diri kita dan tentang Tuhan…?. Sehingga kita tidak sanggup lagi untuk bersikap masa bodoh, seperti tidak sanggupnya kita untuk merasa terpaksa dalam menjalani konsep demi konsep yang tadinya meletihkan kita.
Berbagai Cover…
Dulu kesadaran saya tertutup, kafir, atau berhenti tentang Tuhan yang sebenarnya dan yang seharusnya. Karena saat dulu itu konsep (ilmu pengetahuan) yang masuk ke otak saya tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan itu bersemayam di Arsy yang berada di langit ke tujuh (sidratul muntaha) yang entah dimana. Dan untuk bertemu dengan Tuhan, maka kita harus melewati alam-alam akhirat dulu, karena kita hanya bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat. Dan itu pun ketemunya NANTI. Hanya Muhammad Rasulullah sajalah yang pernah ketemu Tuhan saat Beliau masih hidup. Dan pertemuan itu adalah di sidratul muntaha saat Beliau “Isra’ dan Mi’raj”. Sedangkan buat kita-kita umat Beliau ini, pertemuan dengan Tuhan itu nantinya adalah di akhirat. Ditambah lagi dengan pemahaman tentang Tuhan yang beredar umum di tengah-tengah masyarakat, bahwa Tuhan bersemayam yaitu di Arasy-Nya.
Sampai di pemahaman seperti ini sebenarnya tidak ada masalah sama sekali. Karena dalam banyak hadits Rasulullah memang memberikan wejangan Beliau seperti itu kepada sahabat-sahabat saat itu. Juga dalam Al Qur’an sendiri dinyatakan bahwa Allah “tsummastawa ‘alal arsy yudabbirul amra”, Dia bersemayam diatas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan”.
Akan tetapi sayangnya tidak jarang diantara kita, kalau tidak mau dikatakan mayoritas umat Islam, yang terjebak dalam memahami makna bersemayam itu seperti bersemayamnya seorang raja di singasananya. Dan singasana Tuhan itupun berada di langit ke tujuh, bahwa singasana-Nya ada di Sidratul Muntaha, bahwa Tuhan hanya bisa ditemui di akhirat dan dan itupun nanti pula, maka secara tidak sadar sebenarnya kita telah mempersepsikan menghadap Tuhan itu sebagai orang awam berhadapan dengan sosok raja diraja di langit. Sehingga Tuhan seakan-akan sosok yang sangat jauh dengan kita. Ya…, seperti dewa gitu loh…!. Apalagi dengan adanya hadits yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam…, dst.
Makanya, karena mengharap pertemuan dengan Tuhan di akhirat itu, segala ibadah dan amalan saya lakukan dengan harapan untuk dapat pahala sehingga nanti bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat dan dimasukkan-Nya kedalam syurga-Nya. Enak nggak enak, maka ibadah dan amalan itu harus saya lakukan. Karena kalau tidak dilakukan, maka Tuhan akan marah kepada saya.
Akibatnya, kita lalu mencari-cari Tuhan dengan otak kita. Lalu tidak sedikit pula orang yang hanya sampai di kesadaran bahwa tidak mungkin orang bisa bertemu Tuhan di dunia ini. Kalau ada yang mengaku bertemu Tuhan, maka jangan-jangan itu hanya persepsi dirinya sendiri, atau Si ”AKU” yang berani-beraninya mengklaim, bahwa dirinya telah bertemu/ berjumpa.... dgn Allah..?. Dan berbagai ungkapan lainnya yang sangat rumit, seakan-akan kita sengaja memperumit diri sendiri tentang Tuhan. Sehingga lengkap sudah tertutupnya kesadaran kita terhadap eksistensi Tuhan. Kita jadi seperti terpisah dengan Tuhan. Kita tidak punya lagi kesadaran bahwa saat shalat dan berdo’a, kita sebenarnya SAAT ITU tengah menghadap dan menyembah Tuhan, berbicara dengan Tuhan, memuja Tuhan. Ya…, kita tidak bisa lepas dari Allah seperti tidak bisa lepasnya nafas, aliran darah, dan pergerakan alam semesta ini dari Allah. Dan ternyata, suasana ter-cover terhadap Allah seperti ini sangatlah tidak enak, sehingga kemudian saya lalu mencoba masuk ke dalam konsep yang lain lagi. Konsep tarekat dan tasawuf.
Selama beberapa tahun kemudian, saya berada dalam dunia tarekat dan tasawuf yang inti ajarannya adalah tentang bagaimana kita harus MEMBERSIHKAN HATI kita dulu agar hati itu nantinya bisa suci dan bersinar, sehingga hati itu bisa “melihat Tuhan”. Dan syarat mutlak untuk masuk ke wilayah tarekat ini adalah dengan menerima peran wujud lain sebagai wasilah kita untuk menyambungkan diri kita dengan Allah. Wasilah itu sambung menyambung dari satu orang mursyid termuda, lalu guru dari mursyid tersebut berantai ke guru-guru-guru-guru mursyid lainnya sampai ke Rasulullah dan baru ke Allah. Rantai sambungan itu disebut juga dengan rabithah guru, dan proses menghadapkan perhatian (wajah) kepada guru mursyid itu disebut juga dengan bertawajjuh. Kalau kita tidak ikut mengikatkan diri pada mursyid yang berada dalam dalam ‘rantai emas’ mursyid sebuah tarekat tertentu, maka kita akan berada di luar kelompok tersebut saat kiamat dan di hari akhir nanti dan tidak ditolong pula oleh Rasulullah, karena memang Rasulullah ditempatkan di dalam rantai emas mursyid tarekat tersebut pada tingkat pamuncak.
Selama kurun waktu bertarekat tersebut, maka berbagai praktek olah diri (tadzkiyatunnafs) yang sangat sulit harus saya jalani. Wirid dan afirmasi yang berulang-ulang dengan kalimat-kalimat thaiyyibah yang harus dilakukan sangatlah banyak. Untuk waktunya pun lebih lama wiridannya dari pada shalatnya sendiri. Tapi…, tetap saja bukan Tuhan yang ketemu. Malah yang muncul adalah sensasi alam demi alam dan fenomena-fenomena yang tadinya hanya bisa di baca dalam berbagai riwayat atau buku sufi terkenal. Mengasyikkan memang semua itu. Akan tetapi yang namanya TUNTUNAN Tuhan dan RASA SUNGKAN terhadap Tuhan nggak dapat-dapat juga saya pahami. Saya seperti asyik sendiri dengan berbagai atribut ketasawufan yang melelahkan itu, sehingga kemudian saya mencari lagi konsep lain tentang ketuhanan yang lebih sederhana dan bisa diterapkan dalam keseharian.
Kemudian saya lalu masuk ke dalam komunitas PATRAP yang di dalamnya saya diperkenalkan dengan konsep ketuhanan yang lebih simple. Bahwa Tuhan itu ternyata hanyalah Dzat Yang Sangat Sederhana akan tetapi Serba Maha. Dzat yang MAHA MELIPUTI segala sesuatu. Walaupun begitu, dalam kenyataannya konsep patrap yang sangat sederhana ini tidaklah terlalu mudah juga untuk diaplikasikan. Kalau kauro (ilmu pengetahuannya) mungkin bisa saya terima dengan sangat mudah. Bahkan pelatihan-pelatihannya juga bisa saya ikuti dengan tanpa kesulitan yang berarti. Tuntunan demi tuntunan dan rasa sungkan demi rasa sungkan, alhamdulillah bisa saya rasakan realitasnya.
Akan tetapi dalam perjalanannya, ada sesuatu yang saya rasakan sulit untuk saya dapatkan, yaitu untuk masuk kepada suasana KEARIFAN, suasana KERENDAHAN HATI. Ya…, bagaimana caranya agar saya bisa duduk di wilayah ini. Ini yang menjadi pertanyaan saya yang cukup panjang juga. Kenapa…??.
Karena di dalam patrap inilah saya mendapatkan sebuah cara berfikir yang sangat revolusioner sekali. Tidak salah memang kalau dikatakan bahwa virus pemikiran PATRAP ini telah menghancurkan berbagai file masa lalu saya yang sudah karatan di dalam otak saya selama ini. Ditambah lagi dengan tidak adanya konsep pengkelasan (grading) baik antara seorang guru dengan murid, maupun diantara sesama komunitas patrap itu sendiri. Egaliter sekali. Sehingga yang muncul kemudian adalah sebuah karakter baru dimana seorang murid mungkin tidak lagi menghormati guru, karena memang tidak ada konsep guru dan murid di dalamnya. Dalam bidang pemikiran pun, konsep spiritual, agama-agama, dan peradaban juga dikupas tuntas sampai “bugil”, sehingga nyaris saja orang patrap meremehkan pengajian-pengajian agama yang membahas hukum, syariah maupun laku spiritual lainnya.
Ternyata orang yang banyak ilmu, banyak tahu hukum, bahkan banyak pula kesaksian, kalau orang itu tidak bisa merangkainya dengan sikap RENDAH HATI dan ARIF, sangatlah berbahaya. Ilmu, hukum dan kesaksian itu bisa menjadi sebuah senjata baru yang sangat hebat untuk memuaskan kepentingan atau dorongan diri sendiri (hawa un nafs). Sungguh mengerikan sekali.
Lalu dalam sebuah pelatihan bersama Ustadz Abu Sangkan di ruang basement Masjid Baitul Ihsan (BI) seminggu sebelum bencana Tsunami melanda ACEH, saya dan beberapa orang teman yang lainnya merasakan suasana yang sangat berbeda yang belum pernah saya dapatkan sejak saya mulai ikutan patrap ini, apalagi pada praktek-praktek olah diri dan olah jiwa yang sebelumnya. Saya saat itu seperti di tarok di wilayah yang sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Wilayah yang seperti DI RUMAH sendiri. Wilayah yang sepertinya sudah sangat saya kenal lama sekali, akan tetapi yang sudah terlupakan sedemikian lama pula…!!!. YA…, selama ini wilayah ini seperti terlupakan, atau lebih tepatnya saya dibuat lupa tentang rumah saya ini oleh Allah sendiri. Wilayah rumah saya sendiri sebenarnya ...!.
Dari berbagai suasana tertutupnya kesadaran (KAFIR) terhadap Tuhan yang sungguh beragam penyebabnya, maka PASTILAH ada CARA untuk membuka TUTUP tersebut. Ya…, semacam SWITCH gitu loh. Karena nggak mungkin Allah menggeletakkan makhluk ciptaan-Nya dalam berbagai masalah tanpa adanya solusi untuk keluar dari masalah itu. Sungguh Allah ternyata memang sangatlah sempurna sebagai Sang Grand Designer Tunggal dalam segala hal. Untuk setiap MASALAH, apapun masalah itu, ternyata Allah juga telah menyiapkan SOLUSINYA pada saat yang BERSAMAAN. Seperti berpasang-pasangan gitu loh.
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yaa siin 36)
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Asy Syura 11)
Akan tetapi hampir sebagian besar dari kita tertutup pula untuk melihat solusi yang sudah ada itu untuk keluar dari problematika yang kita hadapi. Kita selalu saja cenderung lebih MUDAH untuk hanya bisa melihat masalah demi masalah tanpa menemukan solusinya. Kita memang telah jadi umat yang punya segudang masalah dari dulu sekali sampai sekarang ini, akan tetapi sangat miskin dengan solusi.
Begitu juga dengan suasana kesadaran yang tertutup, tidak sadar, KAFIR, ternyata juga ada pasangannya, yaitu suasana terbuka, sadar, ingat, DZIKIR. Ya…, untuk keluar dari masalah KEKAFIRAN, maka satu-satunya jalan adalah dengan dzikir. Jadi dzikir adalah sebuah proses yang bertujuan untuk membuka tutup kesadaran kita terhadap sesuatu, sehingga sesuatu itu lalu jadi NYATA (ZAHIR) bagi kita.
Sedangkan DZIKRULLAH bermakna sebagai sebuah suasana TERBUKANYA KESADARAN kita terhadap ALLAH. Ya…, dzikrullah adalah suasana ingat dan sadar yang tertuju hanya kepada Allah. Hanya Allah lah yang ADA, sedangkan yang lain selain Allah adalah FANA, TIADA. Pengertian seperti ini merupakan makna hakiki dari kalimat tauhid laa ilaha illallah…!!.
Akan tetapi, kalau kita tidak berhasil mencapai suasana atau wilayah dzikrullah ini, maka hampir secara otomatis pula kita akan masuk ke wilayah KAFIR, yaitu wilayah dimana yang ada adalah yang SELAIN ALLAH, sedangkan ALLAH lalu menjadi WUJUD yang hilang, FANA, TIADA. Dan kafir terhadap Allah ini ternyata adalah puncak dari hilangnya kesadaran seorang manusia yang akibatnya adalah siksa yang sangat pedih bagi manusia itu sendiri.
TUHAN YANG SANGAT SEDERHANA …!
Allah ternyata adalah Dzat yang begitu LUGU dalam memperkenalkan DIRI dan WUJUD-NYA kepada kita umat manusia ini;
Pada taraf pertama, yang biasa-biasa saja, Dia memperkenalkan DIRI-Nya bahwa: “… (sesungguhnya) Aku dekat (Al Baqarah 186). Walau hanya sampai pada kesadaran tentang kedekatan Tuhan seperti ini, namanya sudah ihsan juga. Selanjutnya, Dia memperkenalkan DIRI-Nya bahwa: “…Allah lebih dekat dari urat leher (Al Qaaf 16)”, inipun ihsan juga namanya. Lalu Dia menimpali lagi: “ … Kemana saja menghadap, disana ada wajah Allah (Al Baqarah 115)”.
Pada taraf kedua, yang lebih sederhana lagi, Dia memperkenalkan WUJUD-Nya bahwa: “…Allah meliputi orang-orang kafir (Al Baqarah 19)”. Lagi: “… Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia (Al Israa’ 60)”.
Pada taraf ketiga, yang lebih-lebih sederhana lagi, Dia menyatakan WUJUD-Nya bahwa: “Dia Maha Meliputi segala sesuatu (Al Fushilat 54)”. Dan lagi: “Allah Maha Meliputi segala sesuatu (An Nissa 126)”.
Pada taraf keempat, yang paling sederhana, agar kita nggak usah capek-capek lagi mikirin DIRI dan WUJUD-Nya, maka Dia memagari imajinasi liar kita dengan kalimat: “… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia… (Asy Syura 11)”.
Dan pada taraf kelima, yang tidak ada lagi taraf setelah itu, maka Wujud Yang Maha Meliputi yang tidak sama dengan apapun itu, punya “Aku”. Dia bersabda dengan “Aku”-Nya “Innani ana Allahu, laa ilaha illa ana, fa'budni, wa aqimishshalata lizikrii. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha 14).
Dengan lima taraf kesadaran ihsan kepada Tuhan seperti ini, maka selesai sudah Ilmu tentang Tuhan. Ya…, dengan beberapa ayat Al Qur’an di atas, ilmu tentang tauhidullah, ilmu ma’rifatullah tamatlah sudah. Akan tetapi kelima taraf kesadaran ihsan ini haruslah menjadi SATU KESADARAN UTUH pada saat yang sama. Tidak boleh terpisah-pisah. Dalam setiap aliran nafas, dalam setiap pandangan, dalam setiap pendengaran, maka kita harus duduk pada kesadaran ihsan seperti ini. DEERRR….!!.
Karena kalau kita coba-coba keluar dari pengertian tentang TUHAN yang sesederhana ini, sesuai dengan pengungkapan Tuhan itu sendiri, maka yakin deh bahwa kita akan berubah menjadi orang yang RUMIT dalam berketuhanan. Dan ternyata memang kerumitan itulah yang telah kita warisi dari generasi ke generasi, sehingga kita lalu menjadi umat manusia yang rumit pula. Sangat rumit malah.
Misalnya, kalau kita hanya berhenti sampai pada taraf kesadaran bahwa Allah dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita, maka biasanya kita akan mencari-cari Allah. Allah lalu dicari-cari ke langit yang ketujuh yang entah dimana. Allah dicari di dalam hati. Atau Allah dicari-cari dengan terlebih dahulu melalui alam-alam yang diberi nama misalnya alam lahut, alam nasut, alam jabrut, dan sebagainya. Sungguh rumit sekali untuk ketemu dengan Tuhan. Semakin dicari kedekatan Allah itu, eh… malah Tuhan sepertinya semakin jauh. Jauuuh sekali.
Begitu juga kalau kita berhenti dikesadaran bahwa kemana saja menghadap, disana ada wajah Allah, maka kita akan dibuat sibuk untuk memposisikan hati, memposisikan wajah, jiwa, ruh kita biar bisa dekat dan menghadap terus kepada Allah. Kita sibuk mencari posisi terus, dan biasanya posisinya malah nggak tepat-tepat juga. Serba paradoks memang.
Ada memang diantara kita yang percaya pada ayat Al Qur’an bahwa Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Kita manggut-manggut dan terangguk-angguk malah sangking hafalnya. Akan tetapi sayangnya kita tidak sampai kepada kesadaran berketuhanan, sehingga kita benar-benar terpaku hanya pada kesadaran kebendaan. Serba benda saja yang menarik perhatian kita. Kesadaran kita benar-benar seperti tertutup akan ayat yang menyatakan bahwa Dia Maha Meliputi segala sesuatu.
Ya…, ratusan tahun kesadaran kita akan liputan Tuhan atas segala sesuatu seperti tertutup. Setiap ketemu ayat ini, kita selalu saja di giring kepada pengertian bahwa yang meliputi segala sesuatu itu adalah KEKUASAAN-NYA, PENGETAHUAN-NYA, ILMU-NYA. Sehingga kita sepertinya selalu dibawa terus untuk MENYEMBAH SIFAT TUHAN. Menyembah sifat, walau sifat itu milik Tuhan sekali pun, adalah salah satu bentuk SYIRIK yang tidak ditolerir sedikit pun oleh Tuhan. Sebab Tuhan memerintahkan kita untuk menyembah HANYA kepada DZAT-NYA, AKU-NYA.
Nah…, kalau tutup kesadaran kita sudah terbuka atas Wujud Tuhan Yang Maha Meliputi segala sesuatu, dan sadar pula bahwa Dzat-Nya tidak sama dengan apapun juga, maka kita tinggal bersandar, berpegang, bergantung kepada Wujud Tuhan itu. INI YANG TERPENTING SEBENARNYA. Bahwa kita berpegang teguh kepada Sang Maha Meliputi. Sedangkan yang lain-lainnya nanti tinggal mengikuti saja.
Karena apapun nanti atribut yang melekat dan diselendangkan kepada Allah, baik itu SIFAT, KEHENDAK, PENGETAHUAN, dan PERBUATAN-NYA, maka kesemuanya itu TEPAT berada pada Dzat Yang Maha Meliputi dan Yang Tidak Sama dengan segala apapun INI. Begitu juga dengan segala ciptaan-Nya, sebutlah apa saja, maka semua itu pastilah berada dalam liputan Dzat Tuhan juga. Dan kepada Dzat Tuhan itu pulalah kita harus mengaturkan persembahan, permohonan, penyerahan, penghormatan, dan menghantarkan segala tanda-tanda kelemahan dan kehambaan kita yang lainnya kita arahkan atau kita kembalikan. Bukan kepada yang lain. Selesai sudah…!.
Masalah nantinya Dzat Yang Maha Meliputi Segala sesuatu itu mau disebut dengan istilah apa, itu masalah lain lagi. Umat Islam menyebutnya dengan sebutan ALLAH. Begitu juga, dalam berbagai agama dan kepercayaan. Ada yang menamakan Dzat itu dengan sebutan Brahman…, Oum…, Yehova, Thian, Manitou, Bapa di Syurga, dan sebagainya. Karena memang Dzat itu menyebut diri-Nya sendiri sebagai Rabbul ‘Alamin, Tuhan bagi alam semesta berikut dengan segala isinya. Cuma nanti akan muncul masalah, yaitu: “saat menyebut nama Dzat tadi itu, mampukah kita sampai kealamat yang sebenarnya, yaitu Sang Maha Meliputi?”. Kalau tidak mampu, maka itu namanya kita telah menjadi KAFIR terhadap Dzat Yang Maha Meliputi itu. Akibatnya dalam masalah ketuhanan ini kita lalu menjadi orang yang RUMIT, dan Tuhan pun lalu berubah menjadi Tuhan Yang Rumit.
Dalam ajaran agama Kristen, misalnya, mereka bingung tentang ungkapan Bapa di syurga, sehingga orang tersebut merasa jauh dengan Bapa yang di syurga itu. Lalu untuk menggampangkan agar mereka bisa keluar dari kebingungan itu, maka agama tersebut menciptakan sesuatu yang bisa dipersepsikan dengan mudah. Lalu muncullah konsep Anak Tuhan, atau Tuhan dalam bentuk manusia. Dan atribut seperti ini dilekatkan kepada Yesus Kristus. Sehingga lalu Yesus disembah dan dimintai pertolongan. Kapanpun pemeluk agama Kristen menyebut nama Tuhan, atau dalam berbagai kesempatan disebut juga dengan Allah (umat Kristen melafalkannya dengan Alah), maka arah pikir dari pemeluk agama ini selalu saja dibetot ke arah sosok manusia, yaitu sosok Yesus yang kemudian divisualkan pula dalam bentuk patung dengan berbagai bentuk dan posisi. Yang paling populer adalah visualisasi Yesus yang sedang disalib. Hal yang sama juga bisa terjadi pada umat yang beragama apa pun, tak terkecuali umat Islam. Dimana saat menyebut nama Tuhan, dalam berbagai bahasa, umat-umat beragama itu tidak mampu untuk menghadapkan wajahnya sampai NTEK (hanief) kepada WAJAH Yang Maha Meliputi segala sesuatu.
MANUSIA, SEDERHANA SAJA …!
Sudah sangat jamak imajinasi di masyarakat umum, bahkan sejak zaman dulukala, bahwa manusia harus mengenal dirinya sendiri dulu baru setelah itu dia bisa mengenal Tuhannya, man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu dalam bahasa Arabnya. Ini sebuah pameo yang banyak beredar di masyarakat. Ada yang menolaknya, dengan alasan bahwa ungkapan ini bukan hadits dari Rasulullah. Orang yang menolak ini berpendapat bahwa ungkapan ini adalah bahasa para filsuf yang bergelut di bidang FILSAFAT. Tapi adapula yang menerimanya hanya karena ada bahasa Arabnya, atau malah ada pula orang yang meyakininya sebagai Al Hadits. Sehingga kemudian banyaklah orang yang berusaha mencari tahu siapa dirinya ini. Dirinya itu hilang kali ya…, atau tersembunyi entah dimana, sehingga perlu dicari kembali sampai ketemu.
Dari hasil pencarian itu, maka kemudian lahirlah berbagai konsep tentang diri manusia itu. Ada yang ketemu bahwa dirinya adalah diri yang penuh dengan nafsu kotor sehingga perlu dibersihkan dulu kekotorannya itu. Bersih-bersih diri dulu tahapan awalnya. Maka sibuklah orang dengan laku pembersihan diri (tadzkiyatun nafs). Tapi nggak tahu tuh apa dirinya bisa benar-benar bisa bersih atau tidak.
Ada juga yang ketemu bahwa dadanya kok bergolak terus dengan berbagai rasa amarah, benci, iri, dengki, sedih, senang, bahagia yang pilin berpilin nggak terduga-duga. Berubahnya rasa tadi itu terjadi seperti acak. Polanya rumit. Sehingga ada pula kemudian sibuk untuk mengelola dan mengatur hati ini agar hati tersebut berada di satu sisi saja, yaitu sisi yang bahagia, senang, tidak marah, tidak iri, tidak benci, dan tidak-tidak negatif yang lainnya.
Kemudian dari hasil perjalanan panjang mengolah diri dan hati itu, maka mucullah konsep-konsep mengenai JATI DIRI, DIRI YANG SEJATI, dan sebagainya. Pada umumnya konsep ini sangat susah untuk dipahami apalagi untuk dijalani. Sehingga banyaklah orang yang merasa pesimis. Lalu sang pesimis menghindar dengan menyalahkan takdir Tuhan pula. “Tuhan sudah menakdirkan saya jadi begini…, dst.”
Padahal siapa dan bagaimana diri kita ini yang sebenarnya sudah nggak usah dicari-cari lagi. Nggak usah capek-capek lagi nyari kesana kemari. Tinggal kita baca satu dua ayat Al Qur’an, dimana Sang Pencipta diri kita ini telah menerangkannya dengan sangat jelas. Karena Dia lah yang sangat tahu tentang diri kita ini. Setelah itu, kita lalu minta tolong saja kepada Sang Pencipta kita itu untuk memberikan kita kepahaman, kesadaran atas ayat Al Qur’an yang menerangkan serba-serbi diri kita itu. Sebab, kalau kita yang mencari-cari diri kita sendiri, maka hasilnya juga hanyalah kira-kira atau persepsi saja. Masak jeruk bisa makan jeruk...!.
Nah…, Al Qur’an dengan sangat gamblang telah menerangkan bahwa yang disebut sebagai manusia itu hanya punya dua substansi saja, yaitu NAFS dan RUH. Nggak lebih dan nggak kurang. Sederhana sekali. Sangat sederhana malah.
Di satu sisi, nafs adalah substansi yang berasal dari saripati tanah yang dibentuk Allah dengan sangat sempurna berikut dengan segala sifat, dorongan, dan kecenderungannya. Dan di sisi lain, ruh adalah substansi yang berasal dari Allah, sehingga Allah menyebut ruh itu dengan sangat mesra sebagai Ruh-Ku.
Allah tidak sedikit pun menerangkan bahwa ruh itu adalah ciptaan-Nya. Allah menyebutkan bahwa ruh itu adalah Ruh-Nya. Bukan ciptaan-Nya. Apalagi penggambaran konyol bahwa ruh itu seperti pocong, huh… lebih-lebih tidak berdasar lagi. Tidak seperti itu. Nggak tahu dari mana tuh asal muasalnya imajinasi liar tentang ruh seperti itu. Allah hanya menyatakan bahwa ruh itu adalah mengikuti rahasia dan fitrah Allah. Dan tidaklah kita diberitahu tentang ruh itu kecuali hanya sedikit. Tapi siapa yang dapat menakar sedikit menurut Allah itu…?. Nah temukanlah pengetahuan yang sedikit menurut Allah itu. Namun yakinlah bahwa sedikit menurut Allah itu sungguh sangat-sangat-sangat banyak sekali untuk ukuran kita. Seperti nggak habis-habisnya begitu…!.
Akan tetapi, kalau kita tidak mau berhenti memahami bahwa diri kita ini hanyalah NAFS dan RUH, artinya kita masih mau mencari tahu tentang diri kita ini lagi, memangnya mau dicari kemana…?, dan seperti apa lagi maunya diri kita ini …?. Sudah sangat jelas begitu kok. Kita manusia ini hanyalah terdiri dari NAFS dan Ruh. Titik….!!.
MENGUAK KESADARAN EKSISTENSIAL…
Sekarang pengetahuan kita tentang TUHAN dan tentang MANUSIA sudah menjadi sangat sederhana. Bahwa pada dimensi ketuhanan, yang ada hanyalah ALLAH dan ALAM. Sedangkan pada dimensi kemanusian, yang ada hanyalah Ruh dan NAFS.
ALLAH adalah WUJUD yang meliputi ALAM, dan alam adalah substansi yang diliputi oleh WUJUD ALLAH. Sebutlah alam apa saja, apakah itu alam semesta, ataupun alam-alam gaib seperti alam akhirat, alam syorga, alam neraka, alam malaikat, alam jin, alam syetan, alam pikiran, alam khayalan, dsb. Maka semua itu PASTILAH berada dalam liputan Allah. Karena liputan Allah itu begitu kolosal dan besarnya, maka Allah disebut juga sebagai Sang Maha Besar. Begitu juga karena ketinggian yang tak terukur pun berada dalam liputan Allah, maka Allah disebut juga sebagai Sang Maha Tinggi. Artinya adalah bahwa kemana pun kita menghadap, maka yang nyata adalah Wujud Tuhan yang meliputi segala sesuatu.
Sedangkan untuk mengerti tentang eksistensi Ruh dan NAFS, marilah kita buka kembali peta yang memang telah disiapkan Sang Pencipta untuk umat manusia, yaitu Al Qur’an. Dalam surat Al Qiyamah ayat 14 Allah berkata:
“Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (Nafs) ada yang tahu (Bashirah).
Artinya, sang bashirah inilah yang mampu untuk menjadi saksi atas diri manusia itu sendiri (NAFS). Substansi macam apakah bashirah ini, sampai-sampai sang bashirah bisa tahu tentang apapun tentang diri manusia..?.
Jawaban pertanyaan ini bisa kita lihat dalam surat As Sajdah ayat 7-9:
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Dan dalam surat Al Mujadilah ayat 22:
“…Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan RUH-NYA…”
Ini berarti bahwa Ruh-Nya atau kita ringkas saja menjadi Ruh yang dialirkan kepada Nafs, merupakan substansi yang selalu mengawal Nafs dari waktu ke waktu. Abadi liputan Ruh atas Nafs itu. Hanya karena liputan Ruh atas Nafs inilah yang menyebabkan Sang Nafs bisa mengarungi hidup baik itu di alam dunia, maupun di alam akhirat. Ruh ini pulalah sebenarnya substansi yang hidup, yang kuat, yang bergerak, yang melihat, yang mendengar, yang tahu. Karena memang Sang Ruh berasal dan mendapat pengajaran dari Yang Maha Hidup, Yang Maha Kuat, Yang Maha Bergerak, Yang Maha Melihat, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Tahu. Sedangkan Sang Nafs hanyalah semata-mata substansi yang bersandar mengikuti apapun fitrah dari Sang Ruh.
Kalau begitu, substansi yang hakiki pada seorang manusia adalah Ruh itu sendiri. Tepatnya Aku yang hakiki bagi manusia adalah Sang Ruh ini, Sang Bashirah. Sedangkan Nafs boleh dikatakan hanyalah substansi yang tidak bisa apa-apa. Substansi yang diam, bodoh, buta, tuli, tidak tahu. Dalam bahasa agamanya sifat dan keadaan seperti ini disebut sebagai FANA. Ya seperti mayat begitulah, atau seperti orang pingsan, orang koma. Atau yang paling dekat dengan kita sehari-hari yaitu orang yang sedang TIDUR.
MERANGKAI KESADARAN AWAL…
Sekarang mari kita lanjutkan membenahi kesadaran kita yang selama ini tertutup tentang eksistensi manusia dan Tuhan. Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam ungkapan man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu di atas kalau kita memang masih mau memakainya. Mari kita duduk rileks sejenak untuk mengenal diri kita yang hakiki. Lakukanlah perubahan kesadaran sebagai berikut:
· Pejamkan sajalah mata dengan ringan. Kening nggak usah berkerut-kerut seperti orang yang sedang berpikir tentang sesuatu. Santai saja.
· Sadari ada kaki kita. Kalau belum bisa sadar cobalah pegang kaki itu. Oooo…, ada kaki saya yang berada dibawah saya. Diamlah beberapa saat untuk meyakini dan menyadari bahwa saya berbeda dengan kaki saya.
· Lalu sadari ada tangan kita, bahu kita. Kalau belum sadar cobalah pegang atau raba semua itu dengan lembut sambil membawa serta kesadaran kita ke tempat yang kita sentuh. Oooo…, ada tangan, ada bahu saya yang berada di bawah saya. Diam pulalah beberapa saat disana untuk meyakini dan menyadari bahwa saya benar-benar berbeda dengan tangan dan bahu saya.
· Kemudian coba sadar ada dada kita. Amati sajalah dada itu sebatas sadar akan akan keberadaan dada itu di bawah kita. Jangan masuk ke dalam dada itu. Karena kalau masuk ke sana nanti kita akan dihadang oleh berbagai fenomena yang terbolak balik, enak dan senang yang silih berganti. Nggak usah kita pedulikan dululah fenomena-fenomena itu. Gampang itu nanti.
· Kemudian dengan cara yang sama, sadari pulalah keberadaan mata, telinga, kepala dan otak kita. Oooo…, ternyata kesemuanya itu juga berada di bawah saya…!. Oooo…, saya bersaksi (syahid, syahadah) tentang ayat: “Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (NAFS) ada yang tahu (BASHIRAH)”, adalah benar…!!!
· Ooo…, ternyata memang saya berada di atas semua instrumen saya, yaitu tubuh saya dengan segala tetek bengeknya yang berasal dari saripati tanah itu. Dan sayalah Sang Bashirah itu.
Dengan cara yang sangat sederhana seperti ini, ternyata kita bisa tahu tentang makna hakiki dari ungkapan man ‘arafa nafsahu, bahwa pada hahekatnya yang ada hanyalah SAYA dan DIRI SAYA. Ada RUH dan NAFS. Ada Bashirah yang tahu atas semua instrumen yang terdapat pada Nafs. Saya (Ruh) nyata sekali terpisah dengan diri saya (Nafs). Akan tetapi, walaupun terpisah saya tetap meliputi seluruh diri saya. Buktinya saya tetap tahu semua intrumen saya sampai detail. Saya bisa tahu ada instrumen saya yang sakit, yang patah, yang luka, yang tidak baik. Saya juga tahu saat ada anggota tubuh saya yang hilang. Misalnya, saya tetap tahu kalau tangan kanan saya diamputasi. Bahkan saya juga tahu segala rasa-rasa yang muncul pada diri saya seperti rasa kecewa, marah, benci, iri, pelit, medit, tidak khusyu’, tidak ikhlas, tidak sabar, dan rasa-rasa jahat lainnya seperti tahunya saya saat diri saya dilanda rasa senang, bahagia, cinta, ikhlas, khusyu’, sabar, dan berbagai rasa yang baik lainnya.
Akan tetapi saya dan tubuh saya ternyata tidak bersatu. Ya…, saya dan tubuh saya ternyata tidak bersatu seperti bersatunya merica, garam, bawang dan kentang dalam sebutir perkedel sehingga membentuk substansi yang lain sama sekali dari unsur-unsur pembentuknya. Tapi sayalah yang meliputi seluruh tubuh saya. TEGASNYA…, saya (Ruh) berada di luar dan sekaligus juga di dalam tubuh saya (NAFS).
Janganlah terlalu berlama-lama mengamati instrument kita tadi itu, terutama dada dan otak kita. Karena keduanya memang punya daya tarik dan kecenderungan (Hawa un Nafs) yang cepat sekali menarik-narik kita untuk tenggelam ke dalamnya. Kalau tidak percaya cobalah amati otak kita agak lama, maka dengan kecepatan yang pasti, kita akan ditarik pada file-file yang ada di dalamnya. Cepat sekali kita dibawa dari satu file ke file yang lainnya. Sehingga kalau kita tidak bisa keluar dari file-file fikiran itu, kita terhenti di satu atau beberapa file fikiran itu, misalnya tiga hari saja, maka kita akan menjadi orang yang susah tidur, atau sakit kepala, pusing dan sebagainya.
Begitu juga kalau kita terlalu lama mengamati dada kita, apalagi sampai ke detail-detailnya yang berupa lokasi-lokasi tertentu. Maka dengan cepat kita akan ditarik pula masuk ke dalamnya. Kita akan dibawa melalui berbagai rasa dan pemandangan yang sebenarnya sangatlah mengasyikkan. Akan tetapi kalau kita tidak tahu arah jalan keluarnya, maka kita akan disekap oleh rasa itu. Bisa berhari-hari sekapan perasaan itu melilit kita. Bahkan ada yang berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Cobalah kalau tak percaya…!!. Tapi sebelum mencobanya, sebaiknya kita tahu dulu jalan keluar dari sekapan dan lilitan perasaan itu. Mari kita coba meretas jalan keluar itu.
Begitu kita mampu menyadari bahwa, oooo…, ternyata saya yang hakiki adalah Ruh sedangkan Nafs hanyalah instrumen saya, maka saya harus mencari cantolan agar saya tidak terombang ambing kesana kemari oleh daya tarik kecenderungan Nafs tadi seperti yang sering kita alami selama ini. Coba…, sedang shalat saja, yang notabene saat itu kita tengah memuja Tuhan, ee…, kita masih saja bisa ditarik-tarik untuk menghadap kepada yang lain, misalnya, problem keseharian kita. Untuk bisa keluar dari tarikan kepada selain Allah itu maka kita haruslah mencari peta yang benar dan yang mampu mengantar kita untuk mengetahui arah cantolan atau tempat kembali kita yang sebenarnya. Peta itu adalah Al Qur’an yang kemudian detailnya termuat di berbagai Al Hadits.
Lalu saya sendiri mencoba untuk membolak balik Al Qur’an dan Al Hadits itu dengan penuh rasa keingintahuan saya untuk mendapatkan jawabannya. Dapat…!. “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un, aku ini adalah dari dan milik Allah dan kepada-Nya aku harus kembali”, kata Tuhan saya memberi tahu saya dengan gamblangnya. Dan saya pun buru-buru menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya. Deeerrr…!. Maka dengan seketika itu juga saya langsung akan mengenal Tuhan saya, sehingga ungkapan “faqod arafa robbahu” benar-benar bisa menjadi tempat pemberhentian saya yang terakhir. Dalam segala hal…!!.
Jadi makna dari ungkapan man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu itu sebenarnya sederhana sekali, yaitu “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un”. Karena memang saya ternyata hanyalah semata-mata Ruh-Nya. Dari-Nya, milik-Nya. Sehingga tiada lagi nisbah kepadaku melainkan hanya kepada Dia.
Apa makna dari ungkapan ini…?. Mari kita lanjutkan perjalanan kita untuk membuka kembali kesadaran kita terhadap Allah setahap demi setahap. Karena kita memang saat ini sedang ter-cover. Akui sajalah bahwa kita ini memang sedang ter-cover. Jangan malu-malu. Saya juga sedang ter-cover kok…!.
TEMPAT KEMBALI YANG HAKIKI …
Secara fitrah, segala sesuatu selalu punya kecenderungan untuk kembali kepada fitrah asalnya. Saripati tanah pastilah punya keinginan untuk kembali kepada tanah pula. Siapapun tidak akan bisa menolak bahwa saripati tanah yang boleh jadi bentuknya berbeda-beda, misalnya, dalam bentuk tubuh manusia, tubuh hewan, dan tanaman, pada saat yang tepat pastilah akan kembali menjadi tanah. MATI.
Oleh sebab itu untuk kembali membuka kesadaran kita kepada yang tidak sama dengan tanah, yang bukan tanah, maka janganlah coba-coba untuk membawa-bawa tanah itu menghadap kepada yang bukan tanah. Jangan bawa mata untuk melihat yang bukan tanah. Jangan bawa telinga untuk mendengar yang bukan tanah. Jangan bawa otak untuk memikirkan yang bukan tanah. Jangan bawa dada untuk merasakan yang bukan tanah. Karena mata, telinga, otak dan dada itu nanti akan sirna dimakan ulat dan belatung setelah semuanya itu ditanam kembali di dalam tanah, setelah semua itu tidak berfungsi. MATI.
Tapi jangan pula mata, telinga, otak dan dada itu dimatikan seperti ajaran mematikan dan menutup “hawa songo” dalam praktek kebatinan tertentu. Hanya lewati saja kesemuanya itu seperti lewatnya angin dan cahaya di udara terbuka yang tidak ada tumbuhan, tidak ada bangunan, tidak ada gunung yang menghalangi. Tanpa hambatan, tanpa tekanan. Atau RILEKS dalam bahasa populernya. Seperti rileksnya mata, telinga, otot, otak dan dada seorang bayi. Nggak susah kok untuk rilkes ini. Sudah rileks….???.
Kalau sudah, maka hampir secara otomatis kita akan mempunyai kesadaran bahwa kita ternyata meliputi seluruh Nafs atau diri kita. Lalu lupakan sajalah seluruh atribut dan fenomena Nafs itu. Lalu yang tinggal adalah SAYA, Sang MIN-RUHI, SANG BASHIRAH, SANG AKU DIRI.
Nah…, mari kita lanjutkan tentang bagaimana proses Sang Aku Diri ini luruh ke dalam pelukan Sang Aku Hakiki, ALLAH:
· Sekarang munculkan afirmasi atau niat, bahwa saya tidak tahu tentang Allah. Saya tidak tahu bagaimana cara sadar dan ingat kepada Allah (DZIKIRULLAH). Karena yang tahu tentang Allah adalah Allah sendiri. Lagi pula…, sudah sekian lamanya saya TERTUTUP oleh kecenderungan Nafs (Hawa un Nafs) untuk SADAR dang INGAT kepada ALLAH. Oleh sebab itu mulai saat ini, saat ini juga, tanamkanlah sebuah afirmasi atau niat yang kuat bahwa saya punya Tuhan yang Nama-Nya adalah ALLAH.
· Kemudian munculkan sebuah rasa ingin yang sangat kuat (jahadu) agar diajarkan oleh Allah tentang Allah sendiri.
“Allahumma ‘ala dzikrika”
Ya Allah dzikirkan saya, ingatkan dan sadarkan saya.
Ajarkan saya untuk bisa ingat dan sadar kepada-Mu.
Saya tidak bawa apa-apa selain hanya PENGETAHUAN bahwa Engkau Maha Meliputi Segala Sesuatu dan Engkau tidak sama dengan segala apapun juga”.
Kalau perlu ulangilah niat untuk ingin di tuntun oleh Allah ini dengan kerendahan hati yang amat sangat (tadarru’).
· Saya lalu mengucapkan langsung (tanpa perantara dan wasilah apapun) kepada Wajah Sang Maha Meliputi ungkapan persaksian dan shalawat sebagai berikut:
Bimillahirrahmanirrahim,
Asyhadu anlaa ilaaha illallah,
Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad.
· Lalu panggil-panggillah Nama Sang Maha Meliputi itu dengan teguh:
Ya Allah…, Ya Rahman…!.
Ulangilah memanggil-manggil Ya Allah, Ya Rahman ini beberapa kali dengan kerendahan hati yang amat sangat, sampai nantinya muncul tarikan rohani kearah yang Maha Tinggi. Biasanya munculnya tarikan rohani ini tidaklah terlalu lama setelah kita memanggil-manggil Allah. Paling dalam hitungan menitan. Kalau dalam waktu 3 menit berselang belum juga muncul tarikan rohani ini, maka jangan diteruskan. Percuma saja. Karena kalau sudah lebih dari 3 menit tapi nggak ada tarikan rohani juga, maka yang muncul kemudian adalah fikiran kita. Kita mulai mikirin tentang bagaimana tarikan rohani itu, bagaimana direspon Tuhan, dan sebagainya. Kalau sudah begini maka istirahatlah sebentar, dan kemudian mulailah lagi dari awal.
· Kalau tarikan rohani itu muncul, maka jangan takut, jangan dilawan, dan jangan dipikirkan. Karena kalau takut, atau dilawan, atau dipikirkan, maka seketika itu juga tarikan itu akan lenyap. Sebenarnya tarikan rohani itu hanyalah sebuah pergerakan kesadaran kita saja dari kesadaran ketubuhan (Nafs) menuju kesadaran yang mengatasi Nafs menuju ketidakberhinggaan. Akan tetapi, dalam pergerakan kesadaran demi kesadaran itu kita seperti DITUNTUN. Jadi bukan karena usaha kita sendiri lagi. Tapi dituntun, ditarik. Nah…, ikuti sajalah tuntunan itu. Biasanya respon akibat dari adanya tuntunan itu adalah, dada kita berguncang, atau tepatnya diguncangkan dari dalam, sehingga kita bisa dibuat histeris, menangis dan bahkan tersungkur saking dahsyatnya tarikan rohani itu.
· Kemudian pada saatnya, respon dengan rasa ditariknya rohani kita itu akan berhenti dan berganti dengan munculnya rasa tenang, damai, luas yang dalam bahasa Al Qur’an disebut dengan TALINU (lihat Az Zumar 23).
· Dan bacalah, IQRA suasana tenang, damai, dan luas itu, karena disana sungguh sangat tidak terhingga ilmu pengetahuan maupun solusi dari berbagai persoalan. Di wilayah itu semuanya digeletakkan begitu saja oleh Allah untuk menunggu manusia-manusia yang mau otaknya dialiri fikiran Tuhan, yang mau dadanya dialiri oleh kehendak Tuhan. Ya…, manusia yang mau menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan, yang mau meneruskan tongkat estafet perjuangan Rasulullah. “Sedangkan untuk bekalnya…, semuanya dari-Ku”, kata Allah menjamin. Kita hanya tinggal memunguti bekal itu sesuai dengan kebutuhan.
· Lalu nikmatilah hasil dari IQRA (membaca) suasana per suasana itu dalam bentuk RASA MENGERTI (NGEH).
Catatan:
Oleh sebab itu selalulah perkuat rasa mau belajar kepada Allah, berguru kepada Allah. Lalu tanamkan juga niat yang kuat bahwa saya akan IKUT MAU-NYA ALLAH. Sikap ini merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh seseorang yang tidak tahu dan ingin menjadi tahu. Karena memang hanya inilah modal kita yang ada pada kita. Dengan sikap ini kita dituntun untuk SADAR PENUH kepada Tuhan. Kalau sudah sadar penuh kepada Allah, maka kita dengan senang hati akan ikut mau-Nya Allah. Dan kalau kita sudah ikut mau-Nya Allah maka kita akan dituntun dari satu keadaan ke keadaan lain, dari satu suasana ke suasana lain, dari satu pengetahuan ke pengetahuan lain. Bukankah tuntunan Tuhan ini yang selalu kita pohonkan dalam setiap shalat kita…?. Kita selalu mengeluhkan kepada Allah: “Iyyaka na’budu wa iyya ka NASTA’IN…?”. Tuntun saya ya Allah…!.
· Nah…, kalau suasana ajar mengajar antara seorang hamba dengan Sang Maha Guru, ALLAH, ini sudah bisa kita dapatkan, maka tinggal kita nikmati saja pemahaman-pemahaman yang lainnya, misalnya:
Ø Tuhan itu siapa..?.
Tuhan adalah yang Dzat Yang Maha Dahsyat, Sang Pencipta alam semesta dengan tidak sia-sia, bumi, matahari, bintang-bintang, tumbuhan, termasuk diri kita. Seluruh ciptaan-Nya bermanfaat, tidak ada yang sia-sia. Malaikat, bahkan iblis sekalipun akan bermanfaat bagi manusia. Deerrr…!, maka masukilah wilayah KESADARAN akan kedahsyatan Tuhan itu.
Ø Tuhan Maha Meliputi segala sesuatu.
Kita, tubuh kita juga diliputi Nya. Amati liputan Tuhan itu terhadap jantung, darah, paru-paru, otak, semuanya. Nafas kita juga diliputi oleh Tuhan. Amati kerja tuhan pada tubuh kita. Ternyata karsa, keinginan, kesibukan Tuhanlah yang bekerja atas semua yang ada di dalam tubuh kita itu. Seperti juga karsa Tuhan terhadap alam semesta. Deerrr…!. Masukilah wilayah KESADARAN akan kedahsyatan karsa Tuhan itu. Lalu histeris, terpana, terkapar, adalah sebuah keniscayaan saja.
Ø Sadari akan alam RASA melihat, alam RASA mendengar, alam RASA tahu, masuklah ke wilayah KESADARAN RASA-RASA itu tadi.
Nanti kita akan dibawa sadar, dituntun sadar bahwa ternyata yang melihat itu bukanlah mata saya, tapi ada rasa melihat yang mengalir melewati mata itu. Kita akan dibawa untuk sadar bahwa yang mendengar itu ternyata bukanlah telinga saya, tapi ada rasa mendengar yang mengalir melewati telinga itu. Kita akan disadarkan pula bahwa yang tahu itu bukanlah otak saya, tapi ada rasa tahu yang mengalir melewati otak saya. Begitu juga dengan rasa tenang, damai, dan bahagia. Ternyata semuanya itu hanya sekedar rasa yang dialirkan melewati dada saya. Amatilah semua alam rasa-rasa tadi itu. Karena disitu juga sangat kaya, melimpah ruah, dengan pengajaran dan tahu. Akan tetapi bagi yang mau masuk ke wilayah kearifan, maka semua pengajaran dan tahu tadi itu hanya akan dilihat dengan selayang pandang saja. Karena semua itu adalah hijab yang akan menutupi kesadaran kita terhadap Sang Maha Mengalirkan rasa itu kepada kita.
Ø Masuklah ke dalam kesadaran atas rasa melihat, rasa mendengar, dan rasa tahu itu.
Nanti kita akan dibawa kepada kesadaran baru bahwa semuanya itu ternyata adalah RASA MILIK ALAM. Oleh sebab itu jangan diaku. Ya…, semua ternyata adalah rasa melihat milik alam, rasa mendengar milik alam, rasa tahu milik alam. Yang ada adalah rasa alam semesta…!. Tegasnya…, yang ada adalah alam…!.
Ø Jangan mau berhenti di kesadaran alam semesta ini. Masuklah ke dalam kesadaran yang lebih dalam. Masuklah dengan niat, atau afirmasi bahwa:
ü Alam ini diadakan oleh Allah.
ü Ooo…, kalau begitu yang ada hanyalah alam dan Allah.
ü Alam adalah qodrat dari Allah.
ü Sehingga yang ada adalah qodrat Allah dan Allah.
ü Qodrat Allah kembalikan ke Allah
ü Sehingga yang tinggal, Yang ADA hanyalah ALLAH.
Ø Lalu tegaskanlah:
laa ilaha illallah
Ø Lalu bertasbihlah:
subhanallah
alhamdulillah
laa ilaha illallah
Allahu Akbar.
Laa haula wala quwwata illa billah.
Ø Lalu akan muncul pekikan HU…, HU…, HU…!
Ø Lalu akan muncul rasa patuh dan sujud sebagai seorang hamba kepada Allah.
Ø Lalu………….!,
Ø Lalu………….!.
Nah…, demikianlah sekilas saya mencoba menggambarkan secara verbal sebuah proses yang kalau dialami langsung akan jauh lebih dahsyat dari hanya sekedar bahasa tertulis seperti ini. Nah silahkanlah masuk sendiri-sendiri ke dalam suasana dan kesaksian seperti di atas. Maka anda akan menangguk manfaat yang tak terkirakan.
MEMAKAI BAJU KESADARAN…
Begitulah…, kalau kita mau dituntun oleh Allah suasana per suasana, maka tinggal kemudian suasana itu kita pakai sebagai “baju” kita sehari-hari. Misalnya, saat diri kita ditimpa oleh berbagai masalah yang rumit, kita langsung saja buru-buru membawa masalah itu kepada Allah. Dan dengan sangat mengherankan kita akan ditarok di atas masalah itu sehingga kita tinggal memunguti solusi yang cocok untuk menyelesaikan masalah itu. Walau pun nanti hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, itu masalah lain lagi. Nggak usah dicampur adukkan antara hak kita dengan hak Allah. Percaya sajalah bahwa Allah tahu persis apa-apa yang terbaik buat kita.
Apapun juga…, omongkanlah kepada Allah, berbisiklah kepada Allah. Karena Allah memang adalah satu-satunya ALAMAT yang sangat jelas untuk tempat kita menyampaikan segala sesuatu. Kalau alamat ini kabur, nggak jelas, maka itu namanya kita sedang kafir terhadap Allah. Oleh sebab itu sadarkanlah diri kita atas keberadaan alamat itu. Ini nih…!. INI….!. Hu…, hu… hu…!. Nggak usah dicari jauh-jauh ke langit yang ke tujuh atau ke alam-alam malakut, alam jabarut, alam lahut, dan alam-alam lainnya. Deerr…!. Lalu duduklah di sini memunguti jawaban Allah (Makhraja) atas persoalan kita. Kalau sudah begitu, maka kita setidaknya bisa merasakan cipratan rahmat sebagaimana dirasakan oleh para penyambung tangan Rasulullah. Yaitu para sahabat Rasulullah dan wali-wali Tuhan. Karena sahabat dan penerus Rasulullah itu artinya adalah orang yang sadar penuh terhadap Tuhan. Sadar penuh. DZIKRULLAH. Sedangkan si Deka hanyalah wali dari Karima Yuridawati, anak saya.
Sekian. Hanya Allah yang Maha Tahu.
Deka
Cilegon 18 April 2005,
Jalan Kabel no. 16, jam 06:00
Directions:
Sumber : Milist Dzikrullah
Langganan:
Postingan (Atom)